Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kisah Diskriminasi Seorang Polisi

Memiliki orientasi seksual berbeda, seorang polisi dipecat. Menabrak prinsip antidiskriminasi.

23 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kisah Diskriminasi Seorang Polisi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang mesti memeriksa secara cermat gugatan seorang polisi terhadap institusi Kepolisian RI. Jika betul ia dipecat karena orientasi seksualnya, keputusan itu jelas keliru besar lantaran bersifat diskriminatif. Hakim harus memerintahkan Polri memulihkan status tergugat sebagai anggota kepolisian.

Brigadir TT, anggota polisi yang mengaku sebagai gay itu, memang layak menggugat ke PTUN. Keputusan sidang kode etik Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang menjadi landasan pemecatan dirinya sungguh lemah. Ia dinyatakan melanggar salah satu butir kode etik kepolisian: menjaga dan meningkatkan citra, soliditas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan Polri. Penggugat juga dianggap tidak menaati dan menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal, dan norma hukum.

Tak ada penjelasan yang gamblang dari kepolisian tentang kesalahan Brigadir TT. Dua tahun lalu, penggugat awalnya diperiksa secara internal dengan tuduhan melakukan pemerasan. Tapi tudingan itu dibantah oleh korban pemerasan. Belakangan, ia kembali diperiksa karena dianggap melakukan hubungan seks menyimpang. Brigadir TT kemudian resmi dipecat pada Desember 2018.

Kepolisian tampak kurang cermat dalam menerapkan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara 2011. Seorang polisi yang kebetulan homoseksual tidak bisa dianggap telah merusak citra dan kehormatan Polri. Ia juga tidak bisa dinilai melanggar norma kesusilaan. Keputusan pemecatan itu gegabah, bahkan diskriminatif.

Polri semestinya berpegang pada prinsip antidiskriminasi yang diatur dalam konstitusi. Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 jelas menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan”. Prinsip ini ditegaskan lagi dalam pasal-pasal mengenai hak asasi dalam konstitusi. Pasal 28I ayat 2, misalnya, menyatakan “setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun”.

Norma internasional pun amat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Turki yang berpenduduk mayoritas muslim saja mengakui hak kaum gay, lesbian, dan transgender. Negara maju seperti Inggris malah punya aturan hukum yang melarang diskriminasi terhadap kaum gay. Amerika Serikat sudah punya undang-undang yang memperbolehkan kaum gay dan lesbian menjadi tentara. Sementara itu, di Belanda, kaum LGBT mendapat perlindungan hukum saat menjalankan profesi—termasuk menjadi polisi.

Dari sisi kesehatan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 1990 sudah mencabut homoseksualitas dari klasifikasi penyakit gangguan jiwa. Asosiasi Psikiatris Amerika sudah lama mengeluarkan gay dan lesbian dari kategori serupa. Begitu pula Kementerian Kesehatan Indonesia. Kelompok dengan orientasi seksual berbeda itu telah dihapus dari buku Pedoman dan Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (1993).

Hasil penelitian para biolog juga memberi pesan penting: orientasi seksual dipicu antara lain oleh kombinasi faktor genetik, hormon, dan lingkungan di rahim sang ibu. Tak ada bukti yang menunjukkan bahwa pengalaman pada masa kecil berperan terhadap orientasi seksual seseorang. Mereka bahkan menyebutkan bahwa gay atau lesbian bukanlah suatu pilihan. Jadi keberadaan kalangan ini tak bisa begitu saja mendapat justifikasi “penyimpangan”.

Hakim PTUN harus memegang teguh prinsip antidiskriminatif dalam memutus kasus Brigadir TT. Polri pun semestinya tak perlu malu mempunyai anggota yang memiliki orientasi seksual berbeda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus