Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREBAKNYA wabah difteri memunculkan pertanyaan besar tentang efektivitas program imunisasi pemerintah selama ini. Sebanyak 784 orang terjangkit penyakit itu di 29 provinsi-43 di antaranya meninggal dalam 11 bulan terakhir. Meski demikian, Kementerian Kesehatan mengklaim target cakupan imunisasi nasional telah tercapai 91,6 persen. Angka itu kontradiktif dengan fakta lapangan karena dalam kurun Oktober-November 2017, sebanyak 11 provinsi diterpa kejadian luar biasa difteri.
Indikator keberhasilan pencegahan penyakit dengan imunisasi memang ditentukan oleh cakupan imunisasi, yakni persentase jumlah anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap (BCG, hepatitis B, DPT, polio, dan campak) per total populasi anak. Angka cakupan imunisasi yang baik minimal 80 persen dan yang ideal adalah 95 persen agar terbentuk kekebalan komunitas. Jika angkanya di bawah 60 persen, besar kemungkinan muncul wabah.
Penyebab munculnya wabah sebenarnya telah diketahui Kementerian Kesehatan: adanya masyarakat yang menolak imunisasi, minimnya partisipasi publik, dan masih banyak penduduk yang tidak terjangkau layanan kesehatan. Sinyalemen Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek tentang adanya kelompok antivaksin seharusnya ditindaklanjuti dengan pemetaan kelompok tersebut: siapa dan mengapa mereka menolak serta bagaimana penyebaran informasi di antara mereka. Pengetahuan itu diperlukan untuk menutup celah gagalnya program imunisasi ini.
Sejauh ini yang terdengar dari kelompok penentang vaksinasi tersebut adalah kecurigaan bahwa vaksin dibuat dari bahan baku tak halal. Ada pula teori konspirasi tentang vaksin sebagai upaya asing untuk membuat sakit dan melemahkan umat beragama. Yang lain memandang vaksin dapat memicu penyakit berat.
Terhadap kesalahpahaman ini, pemerintah harus menjelaskan. Orang tua, misalnya, harus disadarkan bahwa imunisasi adalah hak anak. Lewat imunisasi, anak dapat terhindar dari sakit, cacat, atau kematian karena penyakit seperti tuberkulosis, polio, difteri, campak, dan hepatitis B. Penggunaan media sosial dan komunikasi langsung dengan pemuka masyarakat harus dilakukan. PT Bio Farma, badan usaha milik negara produsen vaksin, selayaknya membuat kampanye perihal proses pembuatan dan bahan baku vaksin.
Penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menyebutkan terjadi penurunan cakupan imunisasi sebesar 14 persen sejak berlaku Jaminan Kesehatan Nasional. Penurunan itu disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan upaya kesehatan perorangan ketimbang kesehatan masyarakat.
Penelitian tersebut menemukan bahwa pemerintah, misalnya, lebih mementingkan adanya dokter spesialis di pusat kesehatan masyarakat ketimbang tenaga kesehatan masyarakat. Padahal tenaga kesehatan merupakan ujung tombak program promotif-preventif seperti penyuluhan kesehatan, imunisasi dasar, Keluarga Berencana, serta screening kesehatan untuk mengetahui risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan. Saat ini, puskesmas memang lebih sibuk melayani lonjakan jumlah pasien yang berobat ketimbang memberikan penyuluhan kepada publik.
Peran puskesmas selayaknya dikembalikan pada memelihara kesehatan masyarakat, termasuk lewat sejumlah upaya pencegahan. Upaya preventif ini diharapkan dapat menurunkan risiko penyakit, terutama yang kronis dan pengobatannya berbiaya mahal. Upaya mengembalikan tugas pokok puskesmas itu harus menjadi perhatian pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo