Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Indonesiaku

4 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad Syafii Maarif
Ketua PP Muhammadiyah

Pada era 1920, Bung Hatta, yang waktu itu masih belajar di Negeri Belanda, mati-matian memperjuangkan agar nama Indonesia dijadikan nama bangsa dan negara kita. Gagasan berani itu terutama disosialkan Bung Hatta dan kawan-kawan melalui Perhimpunan Indonesia (PI). Banyak pihak yang keberatan, tapi Bung Hatta bersikukuh dengan memberikan argumen-argumen yang cukup kuat. Hatta akhirnya menang, dan jadilah bangsa dan negara ini bernama Indonesia. Pada 1928, melalui Sumpah Pemuda, semakin mantaplah sebutan Indonesia sebagai nama bangsa, tanah air, dan bahkan bahasa. Sungguh mulia perjuangan tokoh-tokoh pendiri bangsa itu.

Dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai hasil puncak pergerakan nasional yang dimulai sejak dasawarsa pertama abad ke-20, Indonesia yang tadinya terjajah menjadi Indonesia merdeka dan berdaulat. Cita-cita besar itu tercapai melalui segala pengorbanan yang telah diberikan oleh para bapak dan ibu bangsa. Sebagian nama mereka diabadikan dalam sejarah, sebagian yang lain tidak tercatat. Beberapa di antara mereka dibuang dan diasingkan dengan segala penderitaan yang menyertainya. Sjahrir, misalnya, hampir-hampir tak tahan melawan kesepian di tempat pengasingan itu.

Dengan demikian, berkat perjuangan tokoh pergerakan nasional, bangsa Indonesia telah terbentuk terlebih dulu, sementara negara Indonesia baru lahir pada 17 Agustus 1945. Dimodali oleh proses pembentukan bangsa yang mendahului pembentukan negara—selama 17 tahun—semestinya secara kultural bangunan yang bernama Indonesia itu akan cukup solid dan integratif. Namun, mengapa setelah 55 tahun bangsa ini merdeka, yang terjadi kemudian adalah kerapuhan kultural dan proses disintegratif yang memprihatinkan?

Kalau hendak dikemas dalam ungkapan yang sederhana, kata kunci jawabannya adalah karena prinsip keadilan tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh dalam format realitas, padahal sila kelima Pancasila tegas-tegas mengatakan bahwa tujuan kemerdekaan adalah mewujudkan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Ketidakadilan inilah yang menjadi pemicu utama berbagai pergolakan daerah tahun 1950-an. Proses disintegrasi yang mengancam keutuhan bangsa dan negara kita sekarang juga bersumber pada sebab pokok yang lama. Korban manusia akibat ketidakadilan ini sudah ribuan. Namun, keserakahan sentralistik tetap saja berlangsung selama sekian dasawarsa. Dalam tiga tahun terakhir, konflik horizontal, di samping vertikal yang belum kunjung selesai, semakin memperparah nasib bangsa kita.

Memang ada tanda-tanda pihak luar turut memperkeruh keadaan. Tapi perlu diingat bahwa itu semua dapat terjadi karena kerapuhan kondisi kita di dalam. Dengan utang luar negeri yang sudah menggunung—sekitar sepertiga mengalir ke kantong-kantong pribadi—semakin sempurnalah gambaran yang kita peroleh tentang bobroknya keadaan kita sebagai bangsa. Tujuan utama gerakan reformasi adalah untuk memulihkan situasi agar normal kembali. Akan tetapi, setelah dua tahun berjalan, semua harapan itu masih tetap tinggal harapan. Situasi kita terus memburuk dari hari ke hari, sementara sebagian besar politisi kita seperti tak memahami keadaan. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka adalah politisi rabun ayam, tak punya visi untuk menengok jarak yang agak jauh ke depan.

Negarawan yang seharusnya lahir dari rahim bangsa ini tidak pernah sempat menjadi matang. Sebab, sejak Dekrit 5 Juli 1959, bibit potensial yang bakal tumbuh terus dipangkas saat baru kuncup. Baik rezim Orde Lama maupun Orde Baru lama-lama bercorak otoritarian, tidak memberikan altenatif lain kepada kita, selain yang didoktrinkan penguasa. Orde Lama yang mengawali, Orde Baru yang menyempurnakan, sehingga jadilah bangsa kita terpuruk seperti sekarang.

Kemudian, karena UUD 1945 telah diberhalakan sejak Dekrit, padahal isi kandungannya yang sederhana sudah tidak mampu lagi mengantisipasi perubahan politik yang bergerak cepat, kita tetap saja dihadapkan pada situasi sulit dalam penyelenggaraan negara. Perubahan Batang Tubuh UUD yang kini sedang digarap Panitia Ad Hoc I MPR belum akan menjamin kepastian masa depan yang stabil. Sebab, yang melakukannya sebagian besar bukanlah negarawan visioner. Perhitungan politik jarak dekatlah yang lebih menentukan hasil kerja mereka. Tapi tampaknya memang inilah proses yang harus kita lalui. Siapa tahu, di masa depan bangsa ini masih akan melahirkan negarawan penaka Hatta dan generasinya, yang istiqamah dalam teori dan praktek demokrasi.

Indonesiaku kini masih harus menanti dan menanti akan kepastian masa depan, sementara proses pembuanaan (istilah Prof. T. Jacob untuk globalisasi) dengan bawaan baik dan buruk yang menyertainya sudah berada di depan jendela rumah kita. Apakah ramalan Bung Mochtar Lubis beberapa tahun yang lalu bahwa kita boleh jadi akan menjadi bangsa kuli di tanah air kita sendiri—karena kualitas kita yang serba di bawah standar dalam hampir semua dimensi kehidupan—akan menjadi kenyataan?

Tantangan seperti itulah yang seharusnya kita ubah menjadi peluang dengan terlebih dulu mengamputasi bagian-bagian tubuh kita yang digerogoti virus kanker ganas—khususnya sebagian elite kita—agar gambaran gelap di atas tidak menjadi nasib kita di abad ke-21. Indonesiaku, yang kini lagi gerah berat, perlu diselamatkan nyawanya sebelum segala sesuatu menjadi tak tertolong lagi. Mari kita ucapkan sayonara kepada euforia politik yang telah menghabiskan energi kita secara sia-sia, dan segera kembali kepada sesuatu yang serius dan fundamental.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum