Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdul Rahman Bahry
Pengamat sosial, tinggal di Kalamazoo, AS
JADZAB, kosakata baru dalam bahasa Indonesia, terucap pertama kali dalam Forum Langitan tentang persyaratan kerelaan para kiai merestui Abdurrahman Wahid melaju ke pencalonan presiden. Para kiai dalam forum itu merestui Gus Dur asalkan setelah menjadi presiden ia tidak jadzab lagi seperti biasanya.
Secara etimologis, jadzdzaab adalah bentuk superlatif (mubalaghah) dari kata jadzaba, yang artinya "menarik", dan dalam format superlatif dapat diartikan "sangat menarik". Dalam terminologi pesantren, ia sering digunakan dalam konteks pengalaman batin dan pemahaman seseorang yang dimanifestasikan dalam perbuatan dan kata yang kurang dapat dipahami oleh publik. Dalam sejarah pesantren, ada Kiai Khalil dari Bangkalan, Madura, yang hidup pada awal abad XX, yang kondang sering jadzab dan kemudian diakui kebenarannya oleh para ulama. Dalam suatu pengajian rutin dengan para murid, tiba-tiba ia mengambil ranting pohon dan memukuli para murid dengan tuduhan "mencuri kambing". Sang guru bertitah bahwa banyak muridnya yang melihat gambar kambing di atas kulit sapi yang sengaja dibuat sebelum pengajian dimulai. Memperhatikan obyek selain guru yang sedang mengaji sama dengan mencuri pandang, dan kali ini mencuri pandang atas gambar kambing. Bagaimanapun, mencuri adalah salah dan patut dihukum. Masih tentang Kiai Khalil, saat sedang memimpin salat Jumat, tiba-tiba ia nyelonong keluar melalui pintu khusus imam dan memberi makan ayamnya. Tentu saja jemaah menjadi kacau. Dan begitu terlihat para murid ribut, segera saja ia kembali dengan ranting kayu dan memukuli mereka seraya berujar, "Bukankah sudah diajarkan kepada kalian, apabila ada imam yang salatnya batal, salah seorang dari barisan terdepan harus menggantikannya? Saya memberi makan ayam karena kewajiban. Kalau ayam itu mati kelaparan, saya akan berdosa. Sedangkan sejenak setelah memberi makan ayam saya dapat kembali salat sebagai makmum." Maka, sadarlah para murid tentang pokal gurunya yang eksentrik itu. Mereka menjadi mafhum bahwa secara ilmu fikih tindakan sang guru itu benar. Benarkah Gus Dur mendengarkan pesan para sesepuh NU agar tidak jadzab lagi? Para kiai terkemuka NU, terutama pemimpin Pondok Pesantren Langitan, Jawa Timur, dan pemimpin Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, sudah mewanti-wanti agar Gus Dur tidak jadzab dalam menjalankan tugasnya sebagai presiden. Tampaknya, mereka sudah menduga Gus Dur akan jadzab lagi. Jangankan kini setelah menjabat presiden, sewaktu masih menjabat Ketua Umum Tanfidziyah (Badan Eksekutif) NU saja sudah sering ia tidak mendengarkan fatwa para kiai. Memang, sebelum menjabat presiden, Gus Dur telah jadzab beberapa kali. Namun, karena masih terbatas dalam lingkungan NU, yang sangat toleran dengan perbedaan pendapat dalam fikih, dampaknya tidak terlalu dirisaukan. Ketika "assalamualaikum" boleh diganti dengan "selamat pagi", para kiai kalem saja. Namun, saat ia mengubah bacaan "Naara" pada surah At-Thalaq dalam Alquran menjadi "Naro", hampir serempak para kiai bereaksi. Memang kala itu para kiai tidak berkenan dengan J. Naro, Ketua Umum PPP, yang cenderung meminggirkan politisi yang berasal dari NU, tapi mengubah bunyi ayat Alquran nanti dulu. Selengkapnya makna ayat yang "diubah" Gus Dur adalah, "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari Naara (api neraka)." Nah, "Naara" inilah yang kemudian dibunyikan menjadi Naro yang Ketua Umum PPP saat itu. Salahkah Gus Dur? Jawabannya adalah ya dan tidak. Kalau bermaksud mempermainkan ayat Alquran sebagaimana dilakukan Harmoko pada malam sarasehan para dalang di Solo (1996) untuk menyongsong Pemilu 1997, secara akidah ia dinyatakan bersalahdan harus menyatakan diri secara eksplisit untuk masuk Islam kembali karena dianggap telah keluar dari Islam. Tapi, apabila mengutip sebagian ayat dan menyambungnya dengan kata lain dalam konteks iqtibas dengan maksud lebih menarik perhatian, ia belum dianggap keluar dari rel. Iqtibas adalah semantik bahasa dan dimungkinkan pemakaiannya dalam berbagai kepentingan. Ilmu ini dipelajari di pesantren oleh para santri yang telah mencapai tataran ahli pada bidang gramatika dan sastra Arab klasik (ilmu balaghah). Daftar jadzab masih panjang, misalnya ucapan Gus Dur bahwa dalang kerusuhan pada awal 1998 adalah ES. Ketika Egi Sujana meradang karena merasa ES adalah inisial namanya, seperti biasanya Gus Dur kalem saja. Menurut sebagian pengamat, yang dimaksud dengan ES adalah Eyang Soeharto, bahkan ada yang memelesetkannya menjadi Ente Sih. Setelah beberapa waktu sepi, tiba-tiba kita tersentak pada saat Perdana Menteri Italia memperingatkan militer Indonesia agar tidak mengambil alih kekuasaan dari Gus Dur. Kemudian, orang terperangah kembali saat Wiranto diminta berhenti dari jabatannya selaku Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Padahal, sebelumnya, Gus Dur mengaku pernah diselamatkan dari "pembunuhan atas perintah atasan" saat itu. Belum lagi reda, Gus Dur mengatakan, "Sulit membedakan antara DPR dan taman kanak-kanak," yang mengundang protes keras dari para wakil rakyat itu. Nah, jadzab apa lagi yang akan keluar dari mulut Gus Dur setelah kalangan istana terlibat dalam kasus Bulog? Sesering dan separah apa pun jadzab Presiden Wahid, masyarakat awam tetap saja kurang dapat mengerti. Tampaknya, hanya para kiai di Forum Langitan yang mafhum apa maknanya. Tanyakanlah kepada mereka, jangan tanya pada rumput yang bergoyang. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |