Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kemiskinan Filsafat, Filsafat Kemiskinan

4 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Didik Hardiono
Pengamat sosial kemasyarakatan

Dalam kamus Badudu-Zein, filsafat adalah ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi. Miskin adalah tidak berharta, kurang dalam hidup karena penghasilan rendah atau sangat rendah. Miskin adalah kata sifat atau keadaan. Jika diimbuhi ke-an, ia akan menjadi kata benda kemiskinan. Apabila kedua kata itu berasimilasi membentuk sintesis filsafat kemiskinan dan kemiskinan filsafat, maknanya jauh berbeda tetapi saling terkait.

Makna kemiskinan filsafat adalah keadaan yang tidak berharga, sangat rendah potensi logika, estetika, metafisika, dan epistemologi. Kemiskinan filsafat ini banyak menjangkiti para elite politik. Banyak pejabat tidak terseleksi berdasarkan kemampuan, tapi mengandalkan kolusi dan nepotisme. Akibatnya, banyak orang yang berkuasa tetapi lemah mentalnya, banyak orang kaya tetapi miskin jiwanya, dan banyak orang pandai tetapi badung nuraninya. Sehingga, masyarakat yang teralienasi materialisme dan mengakibatkan kemiskinan filsafat perlu memahami hakikat filsafat kemiskinan.

Saat melantik Kabinet Persatuan, Gus Dur berpesan kepada menterinya agar bersikap jujur dan sederhana. Pesan ini menarik karena sampai sekarang tidak bisa dihayati sepenuhnya. Terbukti kinerja kabinet masih paternalistik, belum mandiri, serta kurang cekatan dalam menyikapi reformasi.

Kemiskinan filsafat itu mengakibatkan terpuruknya intelektual, moral, dan akhlak manusia. Kebebasan berpikir yang dilandasi sikap religius sebenarnya membantu melahirkan pemikiran, pujangga, atau filsuf dengan pemikiran baru, konstruktif, kritis, dialektis, dan integralistis. Namun, materialisme, sekulerisme, dan pola hedonisme selama ini telah mengakibatkan intelektualisme hanya berpikir pada literature model, tidak pada inti kebijakan. Orang masih mengukur intelektualitas dari gelar kesarjanaan, tulisan dan pemikiran dengan istilah asing, serta mengacu pada pemikiran orang-orang terkenal. Sehingga, pertanyaan yang muncul adalah, "Lantas, konsepmu apa dan bagaimana?"

Manusia Indonesia yang berbudi luhur seharusnya paham bahwa kebenaran beranjak dari hal yang dogmatis, empiris, ilmiah, filosofis, hingga agama. Semakin ke atas semakin paralel dan berlapis. Tetapi banyak yang berada pada posisi kebenaran dogmatis dan empiris, hanya puas dengan kesenangan fisik-materialistis (misal: KKN dan money politics).

Proses penyadaran hakikat diri, lingkungan, negara, agama, tidak dilakukan secara baik selama Orde Baru. Akibatnya, saat Gus Dur jadi presiden, hanya sedikit yang bisa memahami. Misalnya soal agama. Banyak umat hanya ngopeni baju-Nya Tuhan, bukan dzat-Nya. Akibatnya, isu SARA masih mengancam integritas bangsa. Padahal, sejak dulu Gus Dur merangkul semua umat beragama di Indonesia, bahkan Yahudi Israel. Kini lebih "santun" lagi dengan merangkul orang-orang ateis.

Keragaman agama justru memperkaya hati nurani. Demikian juga memahami filsafat kemiskinan. Memperkaya diri dengan harta, takhta, dan kuasa—sementara yang lain miskin, menderita, dan tertindas—hanya membohongi nurani sebagai singgasana Al-Khaliq yang selalu mengingatkan kebenaran haq karena manusia melakukan perjanjian tauhid sebelum lahir ke dunia. Dan ingat, karunia Allah padamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya denganmu, saat kamu berkata; "Kami dengar dan kami taati". Dan taqwalah pada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati(mu). (QS Al-Maidah: 7).

Dalam dunia tasawuf, "kemiskinan" adalah dunia sufi. Karena fitrah kelahiran manusia adalah suci dan miskin. Dengan kemiskinan, tetapi yang memperkaya hati, akan menyadarkannya pada hakikat hidup sebenarnya. Ada sufi yang berdoa agar miskin dan mati bersama orang miskin. Bisakah orang postmodern yang terbuai hedonisme-metropolis memahami pendapat nyeleneh seperti ini?

Sederhana adalah tidak hidup berlebihan, sementara yang lainnya berada dalam kondisi kekurangan dan kemiskinan. Makna sederhana jika diperluas juga mencakup tidak mengumbar janji, dan menyusun struktur organisasi harus sederhana dan efisien, fleksibel, serta profesional. Sederhana dapat diartikan kemampuan menyusun konsep sederhana tetapi kaya makna, bisa dipahami dan diterima semua pihak. Sederhana juga acap kali merupakan kawan dekat sikap jujur.

Gus Dur dengan segala kelebihan dan kekurangannya menghendaki sistem kehidupan berbangsa dan bernegara apa adanya, melalui pesan moral yang sangat lugas tapi kaya makna. Dia menghendaki negara diurus orang-orang yang jujur dan sederhana, agar berwibawa. Semoga dengan teori filsafat kemiskinan, Indonesia segera keluar dari kemiskinan filsafat dan mampu memahami pesan Gus Dur. Apabila pemimpin memahami filsafat, arif, berpola hidup sederhana dan jujur, insya Allah, Indonesia segera makmur dalam keadilan, adil dalam kemakmuran, dan mampu menjadi bangsa yang besar dan disegani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum