Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ingat Cita-Cita Kemerdekaan

Surat edaran dirjen pendidikan dasar dan menengah tentang pembatasan usia bagi calon siswa smp dan sma perlu ditinjau kembali. kesempatan melanjuntukan pendidikan bukan monopoli anak usia sekolah.

5 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA menjadi gusar setelah membaca ruang Pendidikan, TEMPO, 31 Oktober, yang melaporkan adanya ketentuan pembatasan usia bagi calon siswa SMP dan SMA, yang "berusia matang" atau mature-aged-students. Dikeluarkannya ketentuan tersebut, mungkin, karena, "Sekolah bersifat formal, punya berbagai peraturan, dan pakaian seragam, ada kegiatan ekstrakurikuler," seperti dijelaskan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dr. Hasan Walinono. Tetapi saya kurang setuju, kalau juga harus ada batas umur. Di banyak negara maju, pendidikan merupakan suatu keharusan. Di Australia, misalnya, sekolah merupakan kewajiban bagi mereka yang berusia antara 5 dan 15 tahun. Dan, karena orangtua wajib mengirim anaknya ke sekolah, dan si anak wajib mengikuti pelajaran yang tersedia, maka pemerintah Australia pun menanggung segala biaya yang bersangkutan dengan pendidikan itu, misalnya, buku alat-alat tulis, perpustakaan, uang sekolah, dan gaji guru. Di sekolah negara, semua itu ditanggung Departemen Pendidikan. Namun, banyak siswa yang merasa "bosan" atau "terpaksa sekolah" dan begitu mencapai usia 15 tahun, mereka mencari pekerjaan atau magang. Itu terserah mereka, karena mereka mengetahui bahwa kesempatan sekolah lagi selalu terbuka, Malah, banyak sekolah menengah yang menyarankan para siswanya agar bekerja dulu sebelum melanjutkan pelajaran untuk mengikuti ujian akhir sekolah lanjutan atas. Mencari uang sendiri, tampaknya, dianggap dapat mematangkan kaum remaja. Setiap sekolah lanjutan atas mempunyai sejumlah 'siswa berusia matang'. Yakni mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja dan ingin meningkatkan pendidikan untuk promosi kerja. Atau, ibu-ibu rumah tangga, yang melepaskan sekolah di masa remajanya dan setelah anaknya sendiri sekolah mereka ingin kembali bekerja, tetapi merasa harus meningkatkan pendidikannya. Itu mereka lakukan karena ingin mendapatkan pekerjaan lebih sesuai. Dan, sekolah-sekolah menengah dengan tangan terbuka menerima siswa berusia matang. Peraturan-peraturan ketat, yang menyangkut pakaian seragam atau ekstrakurikuler diperlurak bagi mereka yang berusiadi atas 21 tahun. Yang penting, mata pelajaran yang diambil untuk naik kelas atau lulus ujian, peraturannya sama bagi tua dan muda. Saya sendiri kembali ke bangku sekolah dengan mengikuti kuliah di Universitas Monash, Melbourne pada usia 34 tahun. Waktu itu, saya terpaksa melepaskan pekerjaan di kantor, karena hamil tujuh bulan. Masa-masa kuliah pada usia setua itu merupakan masa paling berkesan di hati saya: kuliah dalam keadaan hamil tua, sehingga, kadang-kadang, badan tidak bisa muat di bangku kuliah yang sempit. Sementara itu, saya disambut hangat para mahasiswa lain di tingkat pertama, yang kebanyakan masih belasan tahun. Ketika anak saya lahir, banyak mahasiswa memberikan bantuan khusus dalam mempersiapkan pekerjaan rumah (assignments berupa esei), karena dia lahir seminggu sebelum ujian akhir semester. Sekarang saya sedang mempersiapkan skripsi M.A. di universitas yang sama dan kebanyakan teman saya masih remaja. Bayangkan, betapa ruginya dan kosongnya hidup saya, kalau sekolah dibatasi usia. Bukankah di Indonesia juga banyak pelajar mengalami hambatan dalam meneruskan pendidikan, karena, mungkin, kesulitan ekonomi, atau juga, mungkin, karena kesulitan dalam keluarga? Tidak selamanya, kita patut meniru kebiasaan negara-negara maju. Tetapi dalam hal ini, bolehlah kita melihat bahwa ketekunan siswa-siswa yang berusia matang patut mendapat pujian. Sudah tidak mudah mengurus keluarga atau bekerja mencari nafkah, sekolah pula. Biarkanlah mereka mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan setelah bekerja, karena terpaksa oleh keadaan atau kemauannya sendiri. Mungkin, karena itu, kita bisa menghargai pegawai-pegawai kecil. Sebab, siapa tahu, si tukang sapu kantor, yang masih remaja, itu di suatu hari mungkin menjadi menteri, kalau ia kembali ke bangku sekolah kelak. Berilah kesempatan kepada mereka yang berkeinginan sekolah kembali, jangan dihambat dengan alasan, "Mereka terlalu tua untuk berpakaian seragam." Atau, mungkinkah bangsa kita terlalu menerapkaa apa yang dilaporkan dalam ruang Pokok & Tokoh, TEMPO yang sama bahwa Rae Sita menawarkan pekerjaan kepada Petty Tunjung sari karena, "Kursi di lantai II Hotel Sahid Jaya mensyaratkan orang yang terkenal dan banyak relasi." Sudah waktunya bangsa kita diingatkan kembali pada cita-cita kemerdekaan, yang mendorong banyak pahlawan nasional mengorbankan jiwa raga supaya kita terlepas dari sebutan "a nation of kulis." Sebab, "one is never too old to learn." ROSWITA NIMPUNO KHAIYATH 11 Loch Street Ferntree Gully, Victoria 3156 Australia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus