Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Insiden mina: masalah skenario

Tragedi terowongan mina yang menelan korban seribu lebih jemaah haji bukan karena kesalahan pemerintah saudi,bukan kesalahan tphi,juga bukan kesalahan para jemaah. yang salah adalah skenario.

14 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALALUDDIN RACHMAT PAGI hari 10 Zulhijah 10 H di Mina. Nabi Muhammad saw. baru saja selesai melempar Jumratul Aqobah. Seorang sahabat berkata, "Ya, Rasulullah, saya bercukur sebelum menyembelih." Nabi berkata, "If'al, la haraj. Lakukanlah, tidak apa-apa." Yang lain berkata, "Saya baru melempar setelah sore." Nabi pun menjawab, "La haraj." Puluhan orang bertanya, mengajukan cara haji termudah buat mereka, dan Nabi selalu menjawab, "La haraj." Abdullah bin 'Amm menghitung tidak kurang dari 24 cara: bercukur sebelum melempar, tawaf ifadah sebelum melempar, sai sebelum tawaf, dan lain-lain. Setelah itu, Nabi mengendarai untanya, al-Qashwa, menuju Masjid Al-Kheif. Ia berkhotbah, "Wahai, manusia, dengarkan pembicaraanku, karena barangkali aku tidak akan berjumpa lagi dengan kalian setelah tahun ini. Yang hadir sekarang ini hendaknya menyampaikan kepada yang tidak hadir. Hai, hadirin, tahukah kamu hari apakah ini?" "Hari yang suci." "Bulan apakah ini?" "Bulan yang suci." "Negeri apakah ini?" "Negeri yang suci." "Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, sama sucinya seperti hari ini pada bulan ini di negeri ini. Sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara. Tidak boleh ditumpahkan darahnya. Tidak boleh dirampas hartanya, dan tidak boleh dicemarkan kehormatannya." Seribu empat ratus tahun kemudian, lebih dari sejuta manusia menapaktilasi perilaku Nabi. Puluhan ribu di antara mereka berjalan lewat terowongan Haratul Lisan: berdesakan, berimpitan, dan berguguran. Lebih dari seribu orang gugur sebagai syuhada. Kebanyakan di antara mereka adalah saudara-saudara kita. Mereka telah berjalan jauh, membayar ongkos perjalanan hampir dua kali lipat dari perjalanan biasa. Mereka telah membayar pajak untuk mendapatkan visa haji dan ongkos-ongkos lain untuk kepuasan ibadah mereka di Tanah Suci. Setelah darahnya tertumpah, hartanya terambil, mereka dituding tidak tertib dan tidak mematuhi disiplin. Kehormatan mereka dicemarkan. Kita tidak boleh mencari kambing hitam tetapi kita boleh menghindarkan tanggung jawab. Misalnya dengan blaming the victim. Kita menggunakan strategi blaming the victim untuk meredakan rasa bersalah kita, dengan memberikan rasionalisasi: Mereka menderita karena kesalahan mereka sendiri. Atau kita menyalahkan faktor-faktor yang berada di luar kekuasaan kita. Kita sebut faktor-faktor itu nasib, kecelakaan yang tidak disengaja, atau takdir. Setelah itu, sebagai muslim yang baik, kita harus menerimanya dengan rela dan tawakal. Kita tidak boleh juga menyalahkan Pemerintah Arab Saudi. Mereka telah berusaha sebaik-baiknya untuk menjadi Khadimul Haramain. Marilah kita membuat pengadilan saja -- bukan lamunan, tetapi semacam if clauses dalam program komputer. Jika lalu lintas manusia itu kita atur -- tanpa aturan secanggih queuing theory atau model-model operation research -- sesuai dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan Rasulullah kepada sahabat-sahabatnya atau dengan menggunakan sistem informasi, yang tidak sulit kita desain -- kita pergilirkan jemaah pada waktu dan tempat yang tepat atau kita sewa para ahli planologi dan psikologi lingkungan untuk menciptakan hari suci di bulan suci pada negeri yang suci atau yang paling sederhana, kita tempatkan saja beberapa orang polisi lalu lintas di mulut terowongan itu. Jika ini yang kita lakukan, maka tragedi itu insya Allah tidak akan terjadi. Ini bukan lamunan. Ini sebuah skenario. Banyak orang telah memikirkan skenario untuk menciptakan kekhusyukan ibadah haji. Para ahli di Pusat Riset Haji di Universitas Umm al-Qura Mekkah, misalnya, mengusulkan lingkungan yang mirip di zaman Rasulullah di Tanah Haram. Teknologi yang digunakan teknologi "lunak". "Sejumlah besar jalur khusus untuk pejalan kaki, dikelilingi oleh pohon-pohon yang subur dan daerah-daerah yang teduh, akan menghubungkan Mekkah dengan Mina, Arafat dan Muzdalifah. Para peziarah akan berjalan ke mana-mana, melakukan upacara selama mereka inginkan, beristirahat di tempat-tempat teduh dan tenggelam dalam lingkungan yang bersejarah. Mekkah akan kembali memperoleh sebagian dari kenikmatan dan keindahannya," tulis Ziauddin Sardar melukiskan skenario Pusat Riset Haji. Sardar sendiri mempunyai skenario yang didasarkan pada penggunaan teknologi Peradaban Ketiga -- teknologi informasi. Ia memandang perlunya memelihara empat prinsip planologinya: keselarasan ekologis, universalisme Islam (sehingga ibadah haji tidak hanya dinikmati oleh kelompok kaya), kesederhanaan, dan kesucian Mekkah sebagai Umm al-Qura. "Anggaplah seluruh peziarah itu sebagai sebuah sungai besar," tulis Sardar. "Masing-masing seperti setitik air, mengalir, berkelok-kelok, bergerak menuju tujuannya yang alamiah.... Mereka akan bergerak dari satu tempat suci dan satu titik upacara ke yang lainnya bagaikan sungai yang beraliran tenang. Tetapi jika penghalang ditempatkan di jalan mereka dalam bentuk kendaraan-kendaraan, atau jika permukaan sungai diubah secara tiba-tiba dengan adanya jembatan atau terowongan, atau jika aliran alamiah mereka dipercepat atau diperlambat dengan diizinkannya penggunaan mobil dan terjadinya kemacetan lalu lintas, maka timbullah gejolak, aliran yang deras dan bahkan air terjun." Baik skenario Pusat Riset Haji maupun skenario Sardar tidak menjadi skenario pembangunan sarana haji sekarang ini. Kalau begitu, insiden Mina bukan kesalahan Pemerintah Saudi, bukan kesalahan TPHI, lebih-lebih bukan kesalahan para jemaah. Yang salah adalah skenario. Para syuhada insya Allah tidak mati, tetapi mereka yang dikumpulkan (oleh orang-orang selain mereka)," (Ali Imran 158).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus