PERISTIWA itu terjadi pada hari pertama pelemparan jumrah, hari menjelang babak akhir keseluruhan proses ibadah haji. Itulah pagi 10 Zulhijah -- di Arab Saudi itu ditentukan jatuh pada Senin 2 Juli pekan lalu, sementara di Indonesia waktu itu masih 9 Zulhijah. Di hari yang penting itulah Nabi Ibrahim, menurut Dr. Ali Shariati, cendekiawan Islam yang menulis buku Haji, para jemaah berkesempatan menemukan "dirinya sendiri", dan hidup "sesuai dengan kehendak Allah". Bagaikan Nabi Ibrahim yang mengalahkan setan yang mencoba membelokkan jalannya dari niat melaksanakan perintah Allah menyembelih putranya sendiri, Ismail. Untuk sampai di pelemparan jumrah akabah (satu dari tiga jumrah yang mesti dilempari kerikil) di "hari kemenangan" pertama itu, sebuah proses yang cukup panjang mesti dilewati dahulu. Bermula di Jeddah, kemudian ke Medinah (bagi yang datang pagi-pagi), terus ke Mekah. Bagi yang datang kemudian dari Jeddah mereka sudah berihram, dan langsung menuju Mekah. Yang pria dengan dua helai kain tanpa jahitan, satu dipakai sebagai sarung, satu disampirkan di bahu bak selendang. Yang wanita dengan pakaian yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Tak diperkenankan memakai tutup kepala, dan alas kaki yang menutupi mata kaki. Lalu diucapkanlah niat berhaji. "Aku sambut panggilanmu, ya, Allah,...." Inilah niat meninggalkan rumah untuk datang di hadapan Allah. Meninggalkan keakuan untuk berserah diri kepada-Nya. Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi, dan kepada Allah tujuan perjalanan (Quran 24:42). Setiap orang mengenakan pakaian yang sama. Setiap orang terkena larangan yang sama, dari larangan berhubungan seksual sampai larangan memotong rambut dan kuku. Setelah salat mulailah perjalanan mengarungi padang pasir, menuju Rumah Allah, menuju Ka'bah di Mekah. Dulu, jemaah berjalan kaki atau naik unta. Kini, orang-orang yang berserah diri ini dilarikan oleh bis-bis (bahkan ada yang ber-AC), menempuh jarak sekitar 75 km. Sebelum melakukan tawaf (mengelilingi Ka'bah tujuh kali), mesti terlebih dahulu memasuki Masjidil Haram, masjid suci di Mekah. Di dalam kompleks masjid itulah berdiri Ka'bah. Di lingkungan itu pulalah sumur zamzam berada, juga makam Ibrahim. Pada awalnya itu semua berada di tempat terbuka. Kemudian Nabi Muhammad saw. menjadikan tempat itu sebagai masjid pertama. Khalifah satu ke yang lain kemudian membangun Masjidil Haram ini, hingga seperti sekarang ini. Dimulailah tawaf. Sebuah gerakan mengelilingi bangunan batu segi empat sangat sederhana yang kosong. Sebuah gerakan, kata Ali Shariati, yang membuat seorang invidu "bagaikan setetes air yang jatuh ke dalam lautan". Gerakan itu berawal dari batu hitam Hajar Aswad, setelah mencium batu hitam itu dan menyatakan niat bertawaf. Dan berakhir di situ juga. Lalu menuju makam Ibrahim, salat sunah dua rakaat, dan berdoa. Itulah cara jemaah mengenang Ibrahim yang dibantu putranya membangun Ka'bah. Di batu makam itulah ia dulu berdiri meletakkan batu landasan Ka'bah. Allah telah memerintahkan mereka mendirikan rumah bukan untuk mereka, tapi untuk seluruh umat manusia. Rumah yang menghadap ke mana pun dan tak ke mana pun, dan karena itu di dalamnya engkau bisa melakukan salat menghadap ke mana saja. Tibalah melakukan peran bak Hajar, budak perempuan Etiopia yang diperistri oleh Ibrahim, yang melahirkan Ismail, yang dalam cemas berlari bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwah berharap menemukan air buat Ismail yang menangis. Dialah lambang kepasrahan, yang yakin bahwa Allah memerintahkannya menunggu Ibrahim di bukit tandus bukan untuk dianiaya. Dan pada larinya yang ketujuh, ia lihat di sisi Ismail yang ia tinggalkan, mengucur air jernih. Itulah sumur zamzam, yang digali oleh tumit Ismail atas kehendak Allah. Kepasrahan pada Allah, dan perjuangan mencari air buat penghapus dahaga putra dan dirinya, itulah hikmah sai -- ritual yang mesti dilakukan jemaah setelah salat di makam Ibrahim. Sai berakhir, kuku boleh dipotong, rambut silakan dipangkas. Ihram pun sudah saatnya ditanggalkan, pakaian yang biasanya boleh dikenakan. Dan pergilah para jemaah ke sumur zamzam, minum, membasuh muka, dan menampung air zamzam untuk dibawa pulang. Haji kecil atau umrah -- yang bisa dilakukan kapan saja kecuali pada 8,9, dan 10 Zulhijah -- usai sudah. Selanjutnya adalah ritual haji akbar. Bila penanggalan belum menunjukkan 8 Zulhijah, para jemaah akan menunggu hari itu di Mekah, sambil melakukan kebajikan-kebajikan. Salat jemaah di Masjidil Haram, tawaf sunah, baca Quran. Dan bersiap-siaplah melanjutkan perjalanan menuju Allah, setelah singgah di Ka'bah, rumah Allah. Berjalanlah ke arah timur, ke Padang Arafah, 25 km dari Mekah. Di padang sahara luas inilah dulu Adam bertemu Hawa. Kini anak cucu mereka dari segala warna kulit bertemu di sini. Di Arafah, di malam 9 Zulhijah, para jemaah bermalam, menunggu saat wukuf, saat singgah. Siangnya, dimulai saat lohor, itulah saat wukuf. Salat lohor dan asar dijamak. Jemaah boleh baca Quran dan banyak berzikir. Atau tak melakukan apa-apa. Bebas. Tapi di sinilah jemaah merasakan teriknya panas. Di sinilah semua manusia hampir tak ada bedanya. Di sinilah yang duniawi terasa buruk. Karena Arafah hanyalah padang kosong. Lalu salat magrib dan isya pun dijamak. Dan setelah itu, setelah matahari tenggelam, setelah teriknya berangsur pun menyingkir, jemaah meninggalkan Arafah. Di malam hari besar 10 Zulhijah, itulah saat mengumpulkan tenaga dan senjata. Tanpa matahari, jemaah berjalan dari Arafah ke Muzdalifah, 5 km dari Arafah, untuk mabit (berhenti). Di malam gelap itulah jemaah mengumpulkan kerikil, 49 butir atau 70, guna melempar jumrah esok harinya. Perjalanan pun dilanjutkan dalam gelap menuju jumrah di Mina, 9 km jaraknya. Di Masy'ar al-Haram, menjelang masuk Mina, jemaah berzikir. "... Maka, panjatkanlah puji-pujian kepada-Nya sebagaimana telah ditunjukkan kepadamu, meskipun kamu sebelumnya masuk golongan yang sesat," (Quran 2: 198). Bila di Muzdalifah ketika mengumpulkan kerikil semangat "berperang" melawan setan beramuk di dada, di Masy'ar adalah sebuah "lautan yang bening dan tenang, lautan yang di bawah cahaya bulan dan bintang memantulkan bayangan surga di dunia...." Ketika azan pun terdengar, itulah saat salat subuh. Salat yang dilakukan benar-benar dalam keheningan -- keheningan seseorang yang siap menghadapi dan mengalahkan godaan setan. Ketika matahari pun mulai melontarkan sinarnya, itulah saat memasuki Mina, "negeri Allah dan setan," -- dan di sinilah, tahun ini, peristiwa Terowongan Al-Muhaisim terjadi. Innalillahi wainnailaihi rajiun. Setelah melempar jumrah akabah (terkecil), jemaah memotong rambut dan kuku. Berakhirlah masa ihram, para jemaah diperkenankan kembali berpakaian biasa. Segalanya boleh, kecuali menggauli istri atau suami. Mina telah ditaklukkan dan setan telah dikalahkan. Maka, penyembelihan kurban pun dilaksanakan (atau membayar denda, atau berpuasa saja bila tak mampu). Inilah kepasrahan mutlak, ketika Ibrahim membawa Ismail untuk disembelih. Inilah peperangan terbesar: melawan diri sendiri. Ibrahim mesti diuji -- ia telah memalingkan mukanya dari dunia, kecuali dari anaknya yang didambakannya selama seratus tahun. Kepasrahan itu pun bulat, ketika sang anak ternyata juga pasrah. Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Yang tersembelih pisau Ibrahim bukan leher Ismail, tapi seekor domba. "Maka serahkanlah dirimu kepada-Nya, dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang merendahkan diri (di depan Allah)," (Quran 22: 34). Sesudah itu para jemaah masih menginap di Mina dua malam. Di tiap siangnya mereka melempari ketiga jumrah: akabah, wusta, dan ula. Bila di malam ketiga ada yang masih di Mina, wajib baginya "mengalahkan setan itu sekali lagi." Itulah kesempatan untuk merenungkan segala sesuatu: yang dipikirkan, yang diperbuat sampai hari itu. Saatnyalah kembali ke Mekah, langsung dari Mina, yang cuma 5 km dari kota suci itu. Di sini tawaf sekali lagi, tawaf wada, atau perpisahan. Lengkap sudah haji akbar dilaksanakan. Tiba saatnya mempraktekkan perolehan dari berhaji, dari pengalaman bertawaf sampai menanggung terik di Arafah, dan berkurban. Itulah bila para jemaah tak lagi "mementingkan diri sendiri," melainkan "mengabdi pada orang lain" karena Allah. "Dan berpeganglah teguh kepada Allah, Dialah Pelindungmu, sebaik-baik Pelindung, dan sebaik-baik Penolong (Quran 22: 78).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini