Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru kali ini sensus sapi membetot perhatian sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah. Hasil sensus Badan Pusat Statistik pada Mei lalu itu membuat Kementerian Pertanian masygul. Angkanya justru berbeda 180 derajat dengan perhitungan Kementerian Pertanian. Bukannya terus bertambah, jumlah sapi potong di Indonesia malah berkurang. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengungkapkan, penurunannya hampir 20 persen dibandingkan dengan hasil sensus 2011.
Para petinggi Kementerian Pertanian pun langsung mempertanyakan hasil sensus itu. Para kepala dinas peternakan di daerah seperti makmum yang taat. Mereka ramai-ramai mempersoalkan hasil sensus yang "tidak sesuai dengan kenyataan". Para pejabat itu hakulyakin swasembada daging bakal tercapai pada tahun depan. Tak cuma bertanya, mereka meminta pencocokan data, terutama di daerah sentra ternak. Para kepala dinas ikut menghitung ulang sapi di wilayahnya.
Reaksi yang berlebihan itu justru akan mengalihkan perhatian Kementerian Pertanian dari masalah utama Indonesia, yakni kelangkaan daging sapi. Setiap menjelang puasa dan Lebaran, daging selalu langka dan harganya melambung. Tahun ini, kelangkaan itu sangat parah dan memaksa pemerintah mengimpor daging sapi potong langsung dari Australia. Kebijakan ini tak pernah diambil pada tahun-tahun sebelumnya.
Jumlah pasokan daging dari produsen lokal memang selalu di bawah kebutuhan masyarakat. Pada 2010, produksi daging lokal hanya bisa memenuhi 70 persen konsumsi nasional. Secara perlahan, kesenjangan itu terus menipis. Tapi pada tahun ini ada lonjakan permintaan. Kementerian Pertanian memperkirakan konsumsi daging tahun ini hanya 550 ribu ton, tapi angka yang disodorkan Kementerian Perdagangan mencapai 629 ribu ton. Adapun produksi lokal hanya 469 ribu ton. Akibatnya, harga daging sempat bertengger di atas Rp 100 ribu, di atas harga normal Rp 75 ribu.
Persoalan itulah yang semestinya jadi fokus Kementerian Pertanian. Cita-cita swasembada daging jelas perlu didukung. Namun cetak biru untuk menuju ke sana agaknya tak sesuai dengan kondisi di lapangan. Pada 2011, jumlah sapi di Indonesia mencapai 14,8 juta ekor. Persoalannya, komposisinya jauh dari ideal. Dari jumlah itu, 14,2 juta dimiliki rumah tangga, dan hanya 600 ribu ekor yang dimiliki perusahaan. Artinya, jika terjadi sesuatu, stok sapi yang siap potong ya hanya 600 ribu itu.
Keadaan itu mengakibatkan pemerintah sering kelimpungan jika terjadi kelangkaan. Fakta menunjukkan stok yang "besar" tidak dapat didayagunakan pemerintah untuk menstabilkan harga melalui operasi pasar. Pemerintah masih harus mengimpor sapi potong untuk mengatasi shortage. Celakanya, disinyalir kualitas daging impor itu rendah. Dari sisi ini, jelaslah pengembangan peternakan sapi semestinya diarahkan pada peternakan skala besar, bukan rumah tangga.
Sayangnya, jalan menuju ke sana sangat terjal. Ada banyak masalah dalam pengembangan peternakan skala besar. Nusa Tenggara Barat sudah ditetapkan sebagai sentra produksi daging, tapi pengiriman sapi ke Pulau Jawa terhambat masalah distribusi. Akibatnya, biaya impor dari Australia jauh lebih murah. Masalah mendasar seperti itulah yang semestinya segera dipecahkan, bukan malah hasil sensus sapi yang diributkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo