Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampang sedang tegang. Ketidaktegasan pemerintah melindungi kelompok minoritas menjadikan hawa Pulau Madura, Jawa Timur, kian panas dalam setahun terakhir. Negara belum menjalankan amanat konstitusi, yakni menjamin keamanan serta kebebasan warga negara untuk beragama dan berkeyakinan.
Setahun lalu, 26 Agustus 2012, para pemeluk Syiah di kawasan Sampang diserang warga yang beraliran Sunni. Seorang penduduk tewas dan ratusan keluarga pemeluk Syiah terusir dari kampung halaman. Mereka terpaksa mengungsi ke Gelanggang Olahraga Sampang. Anehnya, Roisul Hukama, pelaku kekerasan dalam konflik ini, divonis bebas oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Surabaya. Adapun Tajul Muluk, korban penyerangan, justru dipenjara empat tahun dengan tuduhan penistaan agama.
Upaya rekonsiliasi menemui jalan buntu. Yang paling mutakhir, Menteri Agama Suryadharma Ali turun tangan. Sayang, Suryadharma memilih berada di pusaran persoalan. Alih-alih bersikap tegas tentang Indonesia yang bineka, Pak Menteri justru mengikuti arus tekanan bahwa penganut Syiah harus "dicerahkan". Hanya dengan pencerahan, di hadapan para kiai dan diliput media, para pengungsi Sampang bisa kembali ke kampung halaman.
Menteri tidak menyebut syarat itu sebagai pertobatan. Katanya, ini sekadar pencerahan dan penyamaan persepsi. Aroma eufemisme jelas terasa. Jika benar hanya penyamaan persepsi, mengapa hanya kelompok Syiah yang diberi pencerahan? Bukankah penyamaan persepsi membutuhkan keikhlasan kedua pihak untuk saling memahami?
Dipastikan upaya rekonsiliasi dengan semangat memojokkan kelompok minoritas ini tak akan berhasil. Jurus "pertobatan" hanya akan memicu sakit hati di pihak minoritas. Lagi pula, langkah ini tidak sejalan dengan spirit negeri yang bineka. Hak setiap orang untuk memilih keyakinan, baik mayoritas maupun minoritas, adalah hak yang tak bisa dihapus.
Di Sampang, percikan keributan Sunni-Syiah terasa sejak 1998. Awalnya adalah perselisihan dua bersaudara, yakni Ali Karrar dan Tajul Muluk, yang menyebarkan paham Syiah. Perselisihan meruncing, berujung pada desas-desus bahwa kelompok Syiah membuat kitab Al-Quran sendiri. Pada 2006, para ulama Madura berkumpul dan mengajukan 12 pertanyaan klarifikasi kepada Tajul Muluk. Semua pertanyaan dapat dijawab Tajul Muluk. Hasil penelitian Kementerian Agama pun menguatkan, tak ada yang salah dalam penerapan agama Syiah di Sampang. Tapi desas-desus tak berhenti, bahkan makin panas.
Benar, konflik Sampang bukan murni perseteruan Sunni-Syiah. Beragam faktor turut bermain. Ada kecemburuan ekonomi, rendahnya tingkat melek huruf, juga kondisi geografis yang memperparah situasi. Jalanan penuh tanjakan dan turunan di Desa Nangkernang, tempat pesantren Tajul Muluk, misalnya, hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau naik sepeda motor. Walhasil, rumor dan kecurigaan dengan mudah berbiak.
Ikhtiar rekonsiliasi adalah jalan berbatu. Jelas ini bukan jalan instan, apalagi cuma didasari semangat menaikkan popularitas menjelang Pemilu 2014. Akar persoalan, pendidikan dan kemiskinan, wajib menjadi perhatian. Pemerintah wajib menjamin keamanan dan mengembalikan ratusan penganut Syiah ke kampung halaman, ke rumah mereka sendiri.
Konflik Sampang ini pun membuka kesempatan bagi Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengukir sejarah. Saatnya Presiden membuktikan bahwa dia layak menerima penghargaan sebagai negarawan yang menjaga toleransi dan keberagaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo