Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK mudah membendung arus warga Indonesia yang menyusup ke Suriah dan Irak. Jumlah mereka yang bergabung dengan milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan kelompok lain di dua negara itu terus melonjak. Badan Intelijen Negara menyatakan ada 56 orang yang bergabung dengan ISIS pada Agustus tahun lalu. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengeluarkan angka yang jauh lebih besar pada Maret ini: 514 WNI.
Pesatnya "popularitas" kelompok yang dipimpin Abu Bakr al-Baghdadi itu memang mencengangkan. Banyak yang terpikat oleh ISIS karena terpukau pada gagasan sempalan Al-Qaidah ini: membangkitkan kembali kejayaan Islam masa lalu dan menegakkan Khilafah Islamiyah. Gagasan ini sebetulnya sama sekali tak baru, tapi mereka menawarkan ladang jihad di wilayah yang sebagian telah mereka kuasai: Irak dan Suriah.
Mimpi menegakkan syariat Islam di "tanah yang dijanjikan" itulah yang mendorong pendukung ISIS bersedia pergi berperang bukan di tanah air mereka. Sebagian anggota Jamaah Islamiyah di Indonesia disebut memilih menyeberang ke ISIS karena alasan ini. Padahal Jamaah Islamiyah merupakan pendukung jaringan Al-Qaidah, yang memusuhi ISIS. Sebagian jaringan teroris yang diburu polisi di beberapa daerah juga menjadi pengikut ISIS.
Tapi "hijrah" besar-besaran dari berbagai negara ke Suriah dan Irak itu jelas bukan karena nostalgia khilafah semata. Patut diduga mereka tertarik bergabung sebagai milisi lebih karena faktor tawaran yang sangat menggiurkan dari para perekrut anggota ISIS, yaitu gaji hingga puluhan bahkan ratusan juta rupiah.
Tawaran jihad "bintang lima" itu bisa ditemukan di situs-situs web mereka. Pada 2013, misalnya, terlacak 2.650 situs yang melancarkan propaganda terorisme. Setahun kemudian jumlah propaganda itu meningkat tiga kali lipat. Satu situs penyuara ISIS baru-baru ini bahkan memajang foto anak-anak berusia di bawah 15 tahun dari Indonesia yang sedang berlatih menembak. Situs itu menyebutkan anak-anak tersebut mendapat sekolah gratis, sementara ibu-ibu mereka bekerja di dapur umum dengan gaji yang layak.
Gelontoran uang itu bukan sesuatu yang sulit bagi organisasi yang mendeklarasikan diri sebagai Negara Islam pada 2013 ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa merilis laporan pada November 2014 bahwa kelompok tersebut memperoleh US$ 850 ribu hingga US$ 1,65 juta per hari, hasil penjualan minyak dari ladang-ladang yang mereka kuasai. Tak mengherankan jika mereka bisa mengerahkan para perekrut yang sanggup menjadi penyandang dana keberangkatan anggota.
Polisi memang telah menangkap beberapa perekrut dan penyandang dana pendukung ISIS di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Aparat juga menahan pengunggah video kegiatan jaringan ISIS di Internet. Tapi penegak hukum masih kesulitan menjerat perekrut dan pengikut ISIS lantaran tak ada aturan hukum yang benar-benar tepat untuk membekuk mereka.
Kita punya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Tapi undang-undang itu hanya bisa dikenakan jika sudah terjadi aksi teror, seperti pengeboman, penembakan, pembunuhan, atau ancaman yang menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas. Undang-undang ini jelas tak bisa diterapkan kepada orang yang menyatakan menjadi pengikut ISIS, sementara ia belum melakukan teror.
Ketika terjadi ledakan di sebuah mal di Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, undang-undang ini barulah bekerja. Pelaku pengeboman diketahui menggunakan gas klorin atau chlorine bomb, jenis bom yang khas digunakan ISIS. Patut diduga pelaku pengeboman adalah orang yang pernah ke Suriah atau Irak.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI juga menyimpan problem. Undang-undang itu menyebutkan bahwa seseorang bisa kehilangan kewarganegaraan jika secara sukarela masuk ke dinas negara asing. Tapi ISIS bukanlah negara. PBB menyebutnya kelompok terorganisasi yang melakukan kejahatan kemanusiaan dan perang.
Dengan sejumlah keterbatasan perangkat hukum itu, pemerintah mesti lekas bergerak melindungi warga negara. Pemerintah bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau merevisi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme. Pilihan pertama jelas lebih cepat dan masuk akal. Tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyusunannya, perpu ini diharapkan mampu mencegah lebih banyak warga negara Indonesia bergabung dengan ISIS.
Sudah terlalu banyak anak muda, bahkan ibu-ibu dengan bocah di pangkuan mereka, yang menyeberang ke kelompok yang begitu mudah mengkafirkan orang itu. Tak jadi soal jika mereka memutuskan menetap di Suriah atau Irak. Tapi, jika kembali-seperti sebagian alumnus perang Afganistan dulu-mereka yang telah memiliki pengalaman perang ini bisa menyemai kekerasan di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo