Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perayaan ulang tahun kemerdekaan kali ini bisa jadi merupakan perayaan yang paling disyukuri para koruptor. Dari 1.008 bandit korupsi yang sedang menjalani hukuman penjara, tak kurang dari 444 orang mendapat remisi alias keringanan hukuman. Dari jumlah itu, 21 koruptor langsung bebas, termasuk Muhammad Misbakhun, politikus Partai Keadilan Sejahtera, terpidana perkara pemalsuan dokumen pencairan kredit Bank Century senilai US$ 22,5 juta.
Remisi merupakan hak narapidana. Dalam proses pemberian remisi, usul diajukan kepala lembaga pemasyarakatan, lalu dinaikkan berjenjang. Keputusan terakhir berada di tangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kepala lembaga pemasyarakatan biasanya memberi penilaian "layak remisi" kepada terpidana yang dianggap berkelakuan baik, "tokoh" atau "pemuka", yang selama menjalani hukuman ikut memelopori upaya peningkatan kesehatan, pendidikan, dakwah, olahraga, dan sebagainya, di dalam penjara.
Untuk para koruptor, metode penilaian ini tampak bermasalah. Penilaian sang kepala lembaga pemasyarakatan jelas subyektif. Tidak ada, misalnya, semacam dewan pertimbangan yang bersifat independen, yang dipayungi semangat antikorupsi yang tidak sekadar manis di bibir. Kriteria "tokoh" dan "pemuka" tentu membuka peluang bermain mata.
Biasanya, terpidana korupsi memang sudah "tokoh" dan "pemuka" sebelum masuk penjara. Status ini, bagaimanapun, bisa membuat "minder" kepala lembaga pemasyarakatan. Sesampai di dalam, sang terpidana menggunakan kekuatan uangnya untuk menempati posisi "tokoh" dan "pemuka" itu tadi. Bisa, misalnya, dengan menyumbangkan alat-alat olahraga atau memperbaiki musala penjara—seraya menebar "amplop" di sana-sini.
Sebetulnya, masalahnya bukan pada remisi itu sendiri, melainkan pada cara mendapatkannya dan oleh terpidana kasus apa. Sampai saat ini, pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seolah-olah sepakat bahwa korupsi merupakan kejahatan kelas satu yang harus diperangi, karena tingkat kebejatannya yang luar biasa. Tapi "kesepakatan" itu tak lebih dari pemanis bibir. Hukuman ringan yang umumnya diberikan kepada koruptor masih dianggap tak cukup, sehingga perlu diberi bonus remisi.
Ada dua hal krusial dari berbagai keringanan ini. Pertama, tercederainya rasa keadilan rakyat. Kedua, hukuman yang enteng plus remisi itu sama sekali tak memberikan efek jera kepada para koruptor—sesuatu yang hendak dicapai bila benar-benar ingin memberantas korupsi.
Dalam pidato kenegaraan menyambut ulang tahun kemerdekaan, Presiden bahkan terkesan datar dan sangat normatif ketika menyinggung "upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi". Tak ada gereget, apalagi target capaian yang bisa dievaluasi dengan jelas dan meyakinkan.
Seruan para aktivis antikorupsi tentang moratorium pemberian remisi terhadap koruptor ibarat batu jatuh ke lubuk. Yang terdengar malah pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam pidato pemberian remisi 17 Agustus kemarin bahwa para koruptor harus diperlakukan manusiawi. Pernyataan itu bisa benar secara universal, tapi terasa jungkir balik jika dihadapkan dengan kenyataan bahwa kejahatan korupsi secara hakiki melanggar semua kaidah kemanusiaan.
Karena itu, tak ada pilihan selain tidak memberi ampun kepada para koruptor. Kasus Muhammad Nazaruddin memberi bukti gamblang: pemberantasan setengah hati hanya memberi kesempatan bermain lebih liar bagi para koruptor. Satu di antara langkah tidak memberi ampun itu adalah mengutamakan efek jera, yakni hukuman yang berat dan moratorium pemberian remisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo