Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fitnah dan manipulasi informasi perihal penyebab kematian lebih dari lima ratus petugas penyelenggara pemilihan umum seharusnya tak terjadi jika Komisi Pemilihan Umum sedari awal sigap menjelaskan kondisi riil di lapangan. Alih-alih transparan, tindakan KPU merilis jumlah kematian tanpa penjelasan memadai justru makin memicu kesimpangsiuran.
Sampai pekan lalu, KPU menyatakan 486 anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dan petugas pendukung meninggal setelah mengawal pemilu serentak 17 April lalu. Selain yang meninggal, ada 4.849 petugas yang dilaporkan sakit. Data ini saja sudah menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, pada saat yang sama, Kementerian Kesehatan merilis angka berbeda. Menurut Kementerian, petugas KPPS yang meninggal adalah 527 jiwa dan yang sakit mencapai 11.239 orang. Hingga kini, tak ada koreksi dari kedua lembaga itu.
Sejak pertama kali dirilis, informasi dari KPU langsung menjadi sasaran empuk rumor di media sosial. Ada yang menuduh ratusan petugas itu dibunuh untuk menutupi kecurangan kubu petahana. Bahkan ada pendukung kubu calon presiden Prabowo Subianto yang menuding para petugas itu meninggal akibat diracun. Tudingan-tudingan tak berdasar itu jelas memperkeruh suasana penghitungan suara yang sedang panas. Ujung-ujungnya, informasi soal kematian petugas KPPS ini menjadi bola liar yang mengarah pada upaya delegitimasi pemilu.
Meski sedikit terlambat, upaya Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia untuk mengidentifikasi penyebab kematian petugas KPPS harus diapresiasi. Direktorat Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan menemukan bahwa anggota KPPS yang meninggal paling banyak berusia 50-59 tahun. Disusul berikutnya mereka yang berusia di atas 40 tahun.
Tak hanya itu, Kementerian Kesehatan juga merilis hasil audit medis yang menunjukkan bahwa penyebab terbanyak kematian petugas KPPS adalah penyakit kardiovaskular. Ada yang meninggal akibat serangan jantung, stroke, dan hipertensi. Asma dan gagal pernapasan adalah penyebab terbanyak kedua. Dengan kata lain, semua kematian itu terjadi akibat kombinasi faktor usia, kondisi tubuh, dan beban kerja yang cukup melelahkan.
Kita semua tentu menyesalkan kematian para petugas KPPS yang sudah bekerja keras mengabdi kepada negara ini. Banyak dari mereka rela tak tidur dua hari untuk memastikan proses pemungutan dan penghitungan suara berjalan lancar. Namun kasus kematian ini perlu diletakkan dalam konteks yang proporsional. Jumlah 527 korban meninggal itu kurang dari 1 persen total jumlah petugas penyelenggara pemilu kita yang mencapai 6 juta orang.
Banyak orang seakan-akan lupa bahwa kasus kematian petugas KPPS juga terjadi pada pemilu lima tahun lalu. Pada 2014, tercatat 144 petugas penyelenggara pemilu meninggal setelah bertugas. Ketika itu, tak ada kehebohan seperti sekarang.
Meski demikian, bukan berarti sistem penyelenggaraan pemilu kali ini tanpa kesalahan. Masukan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman perlu ditindaklanjuti. Kedua lembaga ini menyoroti sistem rekrutmen dan remunerasi petugas KPPS yang membuat posisi dan keselamatan mereka riskan. Tak adanya batas usia maksimal dan mekanisme cek kesehatan untuk petugas KPPS, misalnya, meningkatkan potensi kerawanan dalam tugas mereka. KPU dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembuat undang-undang wajib meninjau ulang sistem pemilu kita berikutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo