POSO adalah luka yang belum kering. Delapan bulan luka itu mampat, mendadak dari sana darah mengalir lagi. Serombongan pasukan—yang belum diketahui identitasnya—memberondong Desa Sepe-Silanca, dan tewaslah lima penduduk tanpa salah. Dua pekan ini, teater kekerasan itu kembali: penduduk Kristen dan muslim saling intip, ancam, bunuh. Ditaksir sedikitnya 12 mati. Rumah-rumah dibakar, angkutan umum di-sweeping.
Ikhtiar untuk mendamaikan penduduk dari dua agama itu seakan kembali ke titik nol sejak Deklarasi Malino I ditandatangani, Desember tahun lalu. Tiba-tiba saja grafik kerusuhan meninggi: seorang turis Italia tewas, seorang anggota Brimob diculik dan dibunuh, perintah tembak di tempat dikeluarkan.
Ibarat pasien penyakit kambuhan, Poso kini berada dalam "ruang" gawat darurat. Tambahan pasukan mungkin membuat "panas" turun, tapi "serangan" susulan belum tentu segera berakhir. Malah, jika pasukan ikut berpihak ke kelompok yang bertikai, seperti pengalaman Ambon dan Maluku Utara, Poso bisa makin kusut. Bisa-bisa ini membuyarkan semua ikhtiar damai yang dulu pernah dilakukan seusai Deklarasi Malino.
Jika ikhtiar damai ambyar, Poso dikhawatirkan kembali ke situasi tahun 1998. Waktu itu, menyusul cekcok dua pemuda yang berlainan agama, serbu-menyerbu besar-besaran terjadi. Laskar dari dua agama dibentuk, tawur sulit dihitung berapa kali terjadi. Ratusan rumah ludas diamuk api, gereja dan masjid digasak. Polisi menghitung sekitar 570 orang tewas, ada yang yakin 2.000 lebih yang tewas. Deklarasi Malino sempat meniupkan perdamaian, walau—ternyata—hanya sementara.
Dan kondisi kambuhan ini sesungguhnya sudah bisa diduga jika mengingat parahnya konflik pada 1998 itu. "Luka-luka" selama tiga tahun jelas tak mungkin disembuhkan dalam sehari dua. Apalagi ini bukan cuma soal bangunan dibakar atau gedung dirusak, tapi soal anak, bapak, ibu, saudara, kerabat yang dibunuh di depan mata. Rakyat Poso butuh waktu untuk melenyapkan trauma. Sebab itu, berharap perdamaian akan cepat-cepat terwujud jelas merupakan mimpi di siang hari.
Semuanya harus ditata kembali dari awal. Langkah pertama mungkin dengan menyadari kenyataan: bangunan sosial masyarakat di Poso sudah porak-poranda. Kenyataan ini bukanlah monopoli Poso, tapi juga hampir di seluruh pelosok negeri. Kita berada di sebuah negeri yang lemah dalam menjalankan hukum. Ujung tombak penegakan hukum, polisi, tak berdaya menyelamatkan maling-maling kelas teri dari amukan massa. Si maling diseret, digebuki habis, disiram bensin, dipanggang dalam keadaan hidup. Di Poso sama saja. Serombongan orang datang dengan senapan teracung seperti penjahat busuk di film-film koboi. Mereka menembaki manusia segampang berburu ayam di peternakan. Dan polisi serta tentara "belum mengenali" siapa kelompok berbedil itu. Aduh.
Padahal, polisi dan tentara itulah tempat bergantung masyarakat sejak dulu. Mungkin sejak kekuasaan otoriter Orde Baru naik panggung. Demi stabilitas dan pembangunan, setiap konflik pada zaman itu akan ditumpas dengan tenaga maksimum. Negeri mungkin tenang karena orang takut pada bedil, tapi bukan tanpa ongkos: kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan konflik secara mandiri jadi hilang. Aturan-aturan adat tentang hukuman untuk si pengacau, batas-batas yang tak boleh dilanggar dalam konflik, semuanya mandul. Hukum adat dikerdilkan, demi tumbuhnya hukum positif yang diselenggarakan negara.
Ketika Orde Baru tumbang, bedil tak bisa lagi dipakai sekenanya, gesekan kecil gampang meledak menjadi dentuman besar. Kenapa? Rakyat tak lagi terbiasa menyelesaikannya dengan memakai adat setempat.
Saran kami, inilah saat pemerintah daerah berperan. Bukankah era otonomi mengharuskan daerah menyelesaikan konfliknya sendiri? Ada pihak lain yang patut ditagih juga: partai politik. Rakyat sudah memberikan suaranya dalam setiap pemilu. Bukankah sekarang saat yang tepat bagi partai untuk memberikan solusi agar derita para pendukungnya itu tak berkepanjangan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini