ADA dua sisi ekstrem dalam melihat kasus Hutomo Mandala Putra. Dari sisi putra bungsu Soeharto dan keluarga serta karibnya, yang terlihat adalah kisah "derita tiada akhir". Sementara itu, dari kacamata orang ramai, yang tersimpulkan adalah "keistimewaan tiada ujung". Yang terakhir ini terutama dipicu oleh pengumuman resmi pemerintah tentang pemberian potongan masa tahanan satu bulan kepada Tommy Soeharto, 17 Agustus lalu. Padahal vonis Tommy belum genap sebulan dijatuhkan.
Adapun berita lainnya, tentang pengiriman terpidana 15 tahun ini ke lembaga pemasyarakatan di Pulau Nusakambangan, telah menerbitkan kecurigaan khalayak. Utamanya karena citra penjara ini yang semula menyeramkan telah berubah semenjak Mohammad (Bob) Hasan bermukim di sana. Upaya almarhum Baharuddin Lopa yang, ketika menjabat sebagai jaksa agung, mengirimkan kroni Soeharto itu ke Nusakambangan dalam rangka meningkatkan efek "penjeraan" ternyata tersabot oleh ulah sejumlah aparat yang lemah imannya ketika menghadapi kekuatan uang. Sebab, hasil pantauan wartawan majalah ini menyimpulkan betapa "kekuatan" Bob Hasan telah mampu mengubah Nusakambangan dari tempat yang menyeramkan menjadi seperti rumah peristirahatannya.
Kendati demikian—atau justru karena itu—Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra malah mengatakan alasan pemindahan itu agar "Tommy dapat dinasihati oleh Bob Hasan." Agaknya masih perlu diperjelas nasihat seperti apa yang diharapkan: apakah dalam membuat Penjara Nusakambangan semakin mirip hotel untuk berlibur atau agar Tommy, yang pernah buron, mengikuti jejak Bob Hasan yang tak pernah dikabarkan kabur itu.
Kejelasan ini diperlukan karena cara pemindahan Tommy diliputi kabut yang menerbitkan rasa curiga. Coba simak: sebelumnya, aparat Kementerian Kehakiman tampak sibuk menyiapkan Penjara Sukamiskin di Jawa Barat untuk tempat Tommy, bahkan sampai telah mengirim jamban duduk baru. Padahal diam-diam para pejabat di Nusakambangan juga telah menyiapkan ruangan khusus bagi Tommy dua pekan sebelum pengumuman pemindahannya. Wajar jika muncul kesan bahwa Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia sedang me-lakukan upaya mengalihkan perhatian publik. Ada kecurigaan Tommy dipindahkan ke Nusakambangan agar ia terbebas dari sorotan masyarakat hingga segala keistimewaan yang akan diberikan di masa depan tak lagi menjadi perhatian orang banyak.
Kecurigaan seperti ini bukannya mengada-ada. Kisah pergulatan Tommy dan aparat hukum di negeri ini adalah cerita tentang betapa "sangat memandang bulu"-nya upaya penegakan hukum nasional. Tommy pernah mengaku buron dengan aman karena "berkoordinasi dengan aparat." Ia juga pernah meminta grasi tapi sekaligus melakukan upaya peninauan kembali ke Mahkamah Agung dan mengaku tak bersalah. Lantas, dalam persidangannya, ia sempat melontarkan ucapan yang dapat diinterpretasikan sebagai ancaman terhadap seorang saksi. Terakhir, ia tak mengajukan banding, juga tak minta grasi, tapi menyatakan "akan melakukan upaya hukum lain."
Sementara itu, tempat tahanannya di Cipinang sempat dirombaknya hingga menjadi mirip kantor pribadi. Di Nusakambangan pun ia tak ditempatkan di balik terali besi dan tak harus bergantian menggunakan kamar mandi seperti hampir semua narapidana lainnya. Tommy, seperti Bob Hasan, ditempatkan di dalam ruang yang cukup luas dengan kamar mandi pribadi. Maka rasanya tak berlebihan jika berbagai keistimewaan lain diduga akan datang di masa depan, terutama bila semua itu berlangsung tanpa diketahui orang ramai.
Dugaan ini belum tentu betul. Namun, di saat kepercayaan masyarakat terhadap para pejabat publik sedang rendah seperti sekarang ini, pemerintah sepatutnya mempertimbangkan kecurigaan khalayak itu dengan serius. Untuk itu, seorang narapidana yang menjadi perhatian rakyat seperti Tommy Soeharto selayaknya menjalani hukumannya di tempat yang mudah diakses orang awam. Dengan demikian, kontrol masyarakat terhadap aparat yang menangani tugas menghukum Tommy dapat berjalan lancar. Sebab, setiap kali ada penyimpangan pasti akan tercium oleh pers dan dilaporkan kepada pembaca atau pemirsanya.
Walhasil, pemerintah sebaiknya segera memindahkan Hutomo Mandala Putra dari Nusakambangan. Pembunuh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita ini harus menjalani hukumannya di lokasi yang mudah dipantau orang ramai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini