SETELAH helat besar program penjualan aset kredit (PPAK) diluncurkan akhir Juli silam, sepak terjang Badan Penyehatan Perbankan Nasional kembali mengingatkan kita pada tipe birokrasi yang kebal terhadap kritik dan "gonggongan". Bahkan kondisi BPPN betul-betul "tahan peluru", sehingga kecaman sekeras apa pun tidak membuat PPAK yang penuh kontroversi itu diubah atau diperbaiki.
Pertama-tama BPPN tidak bergeser dari keyakinannya bahwa tingkat recovery aset kredit paling tinggi hanya 30 persen. BPPN juga tidak berusaha memperketat prosedur penawaran, agar katakanlah kebocoran bisa ditekan. Maka rasanya sia-sia mengingatkan agar BPPN memenuhi ketentuan yang menetapkan bahwa debitor pemilik tidak dibolehkan membeli asetnya sendiri. Lagi pula secara hitam di atas putih hal itu tidak terjadi, karena di antara BPPN dan para bidder yang jumlahnya 231 itu ada bank, ada pula konsorsium.
Justru dengan mata rantai seperti itu moral hazard bisa dikemas lebih rapi, terlebih-lebih karena tak ada yang berperan sebagai wasit di tengah orang-orang BPPN yang konon dengan lincah ikut bermain. Sedangkan bagi petinggi BPPN sendiri, ke tangan siapa aset itu jatuh dan bagaimana caranya tak lagi penting. Di atas semua itu, hasil PPAK-lah yang utama karena diperlukan untuk menutup lubang defisit pada anggaran belanja negara tahun 2002.
Ketika pekan lalu hasil PPAK dinyatakan mencapai Rp 24,5 triliun—berarti 25 persen dari target—jelaslah betapa klop perhitungan BPPN dan juga betapa piawai lembaga itu mengaturnya. Namun, bak kata pepatah, "Tak ada gading yang tak retak." Soalnya, di sela-sela sukses 25 persen itu, tersisip kejanggalan dan keganjilan. Kejanggalan terjadi karena ada penawar yang menarik diri, lalu digantikan oleh penawar lain, yang kemudian juga menarik diri. Tiba pada penawar ke-4, harga aset sudah anjlok Rp 220 miliar. Kasus seperti ini terjadi beberapa kali dan negara dirugikan sampai Rp 500 miliar. Sedangkan yang disinyalir sebagai keganjilan adalah jatuhnya aset kepada pemilik asal yang notabene belum melunasi utangnya ke BPPN. Yang juga mencolok adalah tipisnya selisih antara harga dasar dan harga yang diajukan pihak penawar.
Sebenarnya banyak hal bisa dilakukan BPPN agar kejanggalan dan keganjilan itu tidak terjadi. Lagi pula ini bukan sekadar kecerobohan, tapi sudah merupakan moral hazard. Padahal, sebagai penyelenggara PPAK, lembaga ini berada dalam posisi untuk mengamankan aset negara yang ada di bawah wewenangnya. Tapi, karena pada tubuh BPPN tidak ada sistem pengawasan melekat, patut disarankan agar sejak sekarang Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dilibatkan dalam urusan harta dan kekayaan pejabat BPPN. Pada tahun 2003, ketika lembaga ini berakhir masa tugasnya, paling tidak ada temuan yang bisa memperjelas mengapa kebocoran bisa terjadi di sana.
Selain itu, dengan asumsi bahwa penegakan hukum secara berangsur akan lebih baik dan lebih canggih kelak kemudian hari, tak ada salahnya dicatat di sini bahwa segala tindak kriminal yang merugikan negara—termasuk pembelian aset yang ada di bawah kuasa BPPN oleh pemilik asal/debitor—sewaktu-waktu bisa saja diusut dan dimejahijaukan. Soalnya, sesuai dengan KUHAP, tuntutan atas tindak kriminal baru dinyatakan kedaluwarsa setelah 18 tahun. Jadi, kalaupun tidak sekarang, kelak pedang hukum akan terayun ke leher pelaku kriminal mana saja, asalkan masih dalam batas waktu 18 tahun tersebut.
Apakah kita terlalu jauh bermimpi, sampai-sampai berbicara tentang penegakan hukum 18 tahun lagi? Kalau bicara proses, untuk target belasan tahun ke depan, sudah harus ditanamkan tiang pancangnya sejak sekarang. Kita bisa mulai dengan BPPN, lalu kasus BLBI, konglomerat, dan moral hazard sektor perbankan. Kita sudah membayar terlalu mahal untuk mereka, dan tak masuk akal kalau harus membayar untuk BPPN juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini