Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kejaksaan yang Sangat Lamban

Aparat kejaksaan masih sangat lamban dalam menegakkan supremasi hukum. Ini titik lemah pemerintahan Megawati.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari beberapa yang menjadi titik lemah pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, yang paling menonjol adalah kejaksaan. Terjadi stagnasi di lembaga yang semestinya paling depan dalam menegakkan hukum ini. Kegamangan bercampur dengan ketakutan, dan ini masih diperburuk dengan praktek tak sedap, seperti adanya dugaan untuk membuat dakwaan kabur atau memberi lubang agar terdakwa dihukum seringan-ringannya. Dalam kasus bekas presiden Soeharto dan kroninya, jelas sekali bagaimana kejaksaan tak punya keberanian sedikit pun untuk melakukan tindakan hukum. Padahal, Presiden Megawati mengantongi ketetapan MPR yang jelas-jelas meminta agar kasus bekas presiden Soeharto beserta keluarga dan kroninya mendapat penyelesaian yang semestinya. Memang, sekarang ini Tommy Soeharto sudah berstatus narapidana dan baru saja dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Batu di Nusa Kambangan. Tapi itu berkaitan dengan kasus mengotaki pembunuhan hakim agung, bukan dalam hal menggerogoti keuangan negara. Itu baru Tommy. Yang lainnya bagaimana? Soeharto sendiri selalu bisa berkelit dengan dalih kesehatan. Bolak-balik tim dokter memeriksanya, dan bolak-balik pula keterangan yang didapat adalah bahwa bekas presiden yang begitu berkuasa ini tidak bisa diperiksa karena sakit: tak lancar berbicara, memorinya hilang, dan entah apa lagi. Padahal, kalau kejaksaan memang mau—dan berani—hadirkan saja ia di sidang pengadilan. Biarlah majelis hakim yang menilai apakah ia layak diperiksa atau tidak. Kalau majelis hakim bisa dengan sabar menanti kata-kata Soeharto keluar, yang konon pelan dan lama, kenapa sidang harus ditunda? Toh, Soeharto masih kuat duduk. Kasus korupsi yang melibatkan Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut juga tak jelas sampai kini. Tutut sudah berstatus tersangka sejak Februari 2001 dalam kasus dugaan korupsi proyek pemasangan pipa pengangkutan bahan bakar minyak di Jawa (pipanisasi Jawa). Menurut penyidikan awal, negara dirugikan lebih dari US$ 16 juta. Tetapi, buntutnya, Kejaksaan Agung masih meminta Pertamina mencari second opinion soal jumlah klaim kontrak yang jadi masalah ini. Kasus ini digantung sampai masyarakat menjadi lupa. Kroni Soeharto pun baru Bob Hasan yang masuk bui. Probosutedjo, yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dana reboisasi dalam pembangunan hutan tanaman industri di Kalimantan Selatan, masih bebas berkeliaran. Padahal negara dirugikan sekitar Rp 38 miliar dan kasus ini pun sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. Tak jelas kapan diajukan ke pengadilan. Sulit mencari alasan pembenar kenapa jaksa takut sementara masyarakat memberikan dukungan sedemikian tinggi. Belum lagi kalau kita berbicara masalah konglomerat hitam, pengusaha yang malang-melintang menggerogoti uang rakyat di era kepemimpinan Soeharto. Dalam kasus BLBI, misalnya, kejaksaan seperti sengaja menghina masyarakat dengan memberikan tuntutan seringan-ringannya kepada konglomerat sehingga hakim pun tak bisa berbuat banyak. Triliunan rupiah uang rakyat dijarah, tetapi penjarahnya ongkang-ongkang di dalam ataupun di luar negeri. Kemandekan langkah kejaksaan ini membuat orang menyoroti kepemimpinan M.A. Rachman sebagai Jaksa Agung. Adakah ia bertindak kurang keras atau ia tak bisa menggebrak ke dalam karena ia adalah jaksa karir? Apa pun kendalanya, sorotan akhirnya menyimpulkan bahwa Jaksa Agung M.A. Rachman perlu dipertimbangkan untuk diganti setelah diberi kesempatan setahun melaksanakan tugasnya. Lalu, muncul teori lama: untuk mendorong aparat kejaksaan mau bergerak memenuhi tuntutan revormasi, perlu dipikirkan untuk mengangkat Jaksa Agung dari luar. Tentu dengan syarat mereka punya keahlian dan keberanian. Seorang ahli tetapi pengecut tak akan ada manfaatnya. Tapi semua ini terpulang pada Megawati, yang punya hak prerogatif, apakah masih mau membenahi titik lemah pemerintahannya atau tidak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus