Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROSTITUSI, kata orang, merupakan profesi tertua yang hampir mustahil dihentikan. Menyatu dengan peredaran narkotik, pelacuran menjadi kegiatan ilegal yang lekat dengan kehidupan malam di Jakarta dan sejumlah kota besar lain.
Di Ibu Kota, sebagai contoh, setelah Gubernur Anies Baswedan menolak perpanjangan izin usaha hotel dan griya spa Alexisyang dituduh menjadi pusat pelacuran kelas atas Jakartapada Oktober tahun lalu, aktivitas esek-esek itu berlangsung seperti sediakala. Izin klub dan karaoke tak dipersoalkan pemerintah provinsi. Lewat usaha karaoke itulah diduga prostitusi tetap dipertahankan.
Alih-alih gulung tikar, Alexis kini mentereng dengan nama 4Play untuk bar yang merupakan salah satu fasilitas di sana. Di Jakarta, Alexis bukan satu-satunya tempat yang menyediakan jasa pelacuran. Hiburan serupa bertebaran di seluruh wilayah Jakarta dan hingga kini merdeka beroperasi seperti biasa.
Ironi terbesar dari penutupan Alexis adalah pemerintah DKI sedikit-banyak bergantung pada sektor ini. Pada 2016, pemerintah Jakarta meraup Rp 769,5 miliar uang pajak dari tempat hiburan semacam itu. Angka ini hanya berada di bawah perolehan pemerintah Ibu Kota dari pajak kendaraan bermotor serta pajak bumi dan bangunan. Sebagai contoh, Alexis menyetor Rp 2,4-3 miliar per bulan. Pajak ini dikutip langsung, antara lain, dari kupon-kupon yang dijual di hotel itu untuk transaksi jasa pelacuran.
Prostitusi memang bisnis luar biasa. Di Jakarta, usaha hiburan malam dikuasai tiga pemain besar. Mereka memiliki jaringan hotel di berbagai titik, yang menyediakan layanan lengkap, seperti klub, karaoke, spa, dan penginapan. Investigasi majalah ini menemukan pelacuran dan transaksi narkotik terjadi di tempat-tempat anggota jaringan itu. Penelitian Badan Narkotika Nasional memperkuat temuan itu: 36 dari 81 tempat hiburan di Jakarta nyata-nyata memperdagangkan obat-obatan terlarang.
Secara formal, tempat-tempat itu sebenarnya tak berbeda dengan hotel lain yang beroperasi di bawah Peraturan Daerah tentang Kepariwisataan. Aturan itu, antara lain, mewajibkan pemilik usaha "mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum". Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum juga melarang setiap orang atau badan usaha "menyediakan dan/atau menggunakan bangunan atau rumah untuk berbuat asusila". Tempat hiburan yang melanggar, menurut aturan-aturan itu, akan ditutup jika tidak mengindahkan peringatan pertama.
Toh, pasar selalu muncul selama masih ada permintaan. Apalagi, di kota megapolitan seperti Jakarta, keberadaan kehidupan malam seperti tak terelakkan. Di tengah permintaan yang tak pernah surut, pelbagai aturan itu tak berarti apa-apa jika tidak ada upaya untuk menegakkannya. Alih-alih menyusut, bisnis semacam ini terus berkembang serta beroperasi dalam wajah hotel dan penunjangnya.
Bisnis ini semakin gelap karena juga diwarnai praktik perdagangan manusia. Tim investigasi Tempo menemukan perempuan-perempuan yang terjerat utang, dikarantinakan dengan penjagaan ketat di luar jam kerja, dan dipekerjakan di beberapa tempat hiburan. Mereka bekerja melewati agensi yang bekerja sama dengan tempat-tempat hiburan. Komisi Nasional Perempuan menyebutkan, yang dialami para wanita itu masuk kategori human trafficking.
Gubernur Anies semestinya bekerja dalam ranah penegakan berbagai aturan itu. Sayangnya, ia terjebak pada sisi politik yang membuat "penutupan Hotel Alexis" menjadi semacam pertunjukan belaka. Bisa jadi ia ingin membuktikan pernyataan spontannya pada saat debat calon gubernur tahun lalu. Setelah menyindir gubernur inkumben dengan pernyataan "kalau soal penggusuran (pemerintah daerah) tegas, tapi kalau soal prostitusi lemah", ia menyatakan akan menutup Hotel Alexis jika terpilih. Pernyataan ini ia wujudkan dengan menolak perpanjangan izin hotel itu.
Politisasi pada isu prostitusi membuat langkah yang diambil pemerintah Anies tidak substansial. Gubernur hanya berfokus pada Alexis, yang ternyata dengan lihai berubah nama. Ia melupakan jaringan ilegal yang berkaitan dengan dunia prostitusi, termasuk praktik perdagangan manusia. Pernyataan-pernyataan publik Anies tentang penutupan Alexis juga lebih menonjolkan usaha "penegakan moral", bukan kebijakan publik yang bisa dipertanggungjawabkan.
Pemerintah DKI bekerja sama dengan kepolisian semestinya memusatkan perhatian pada isu perdagangan manusia dan narkotik. Jelas bukan hal mudah, karena kejahatan ini bisa jadi melibatkan jaringan kuat. Sebagai indikasi, Tempo melihat penjagaan ketat pada karantina pekerja-pekerja seksual, yang di antaranya terjerat utang. Ketegasan dan keberanian gubernur baru justru diuji di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo