Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Pemberantasan Korupsi kini berjalan di bawah kekacauan undang-undang baru. Sejumlah pasal bertentangan satu sama lain, membuat proses hukum yang kini dilakukan lembaga itu rawan digugat. Sejak Kamis, 17 Oktober lalu, undang-undang hasil revisi kilat pada akhir kerja Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 itu resmi berlaku.
Undang-undang baru KPK otomatis berjalan karena Presiden Joko Widodo tak menandatangani peraturan itu setelah 30 hari DPR mengesahkannya. Jokowi juga tak mengeluarkan peraturan presiden pengganti undang-undang atau perpu, seperti harapan masyarakat antikorupsi. Walhasil, komisi yang mendapat kepercayaan tinggi dalam berbagai jajak pendapat itu akan banyak menghadapi hambatan dalam menangkap koruptor.
Ada belasan norma hukum baru yang membuat komisi antikorupsi lemah tenaga. Di antaranya, KPK kini tak lagi independen. Pemimpin KPK kini juga tak lagi menjadi penyidik dan penuntut umum dan, karena itu, tak punya hak menandatangani surat perintah penyidikan dan penuntutan. Penyidik lembaga itu juga diharuskan meminta izin kepada dewan pengawas—yang akan dibentuk Presiden—jika hendak melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Bisa dipastikan, “operasi tangkap tangan” yang selama ini efektif untuk menjaring koruptor tak akan mudah dilakukan. Ancaman kebocoran sangat tinggi.
Undang-undang juga mencantumkan pasal-pasal yang bertentangan. Pasal 69-D menyebutkan, sebelum dewan pengawas terbentuk, tugas dan kewenangan KPK mengacu pada undang-undang sebelumnya. Sementara itu, pasal lain mengatur semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan harus mengacu pada undang-undang baru. Pertentangan aturan ini membuat KPK perlu berkonsultasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang aturan mana yang harus dipakai.
Guna mengatasi pertentangan hukum, tak ada jalan lain, Presiden perlu kita ingatkan kembali untuk segera menerbitkan perpu. Beleid ini diperlukan untuk mengembalikan aturan ke norma hukum undang-undang lama. Presiden bisa menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi pada awal periode kedua pemerintahannya. Langkah ini tak terlalu sulit dilakukan. Apalagi sejumlah pakar hukum senior telah memberikan solusi jalan tengah yang bisa diambil Presiden.
Lembaga antikorupsi yang kuat merupakan kebutuhan utama. Pelbagai hasil penelitian menunjukkan keberadaan KPK bisa menjamin kepastian hukum. KPK juga penting untuk memastikan pembangunan era pemerintahan Jokowi dikerjakan dengan lurus dan benar. Proyek-proyek infrastruktur berbiaya jumbo perlu diawasi oleh lembaga yang kuat, yakni KPK. Apalagi, dalam waktu dekat, Jokowi akan mulai membangun ibu kota baru, yang diklaim berbiaya Rp 600-an triliun. Agar aneka proyek itu tidak keropos digerogoti korupsi, Presiden semestinya memperkuat KPK dan bukan setuju untuk melemahkannya.
Jika Presiden tak juga menerbitkan perpu, masyarakat sipil perlu mengajukan permohonan uji materi undang-undang baru ke Mahkamah Konstitusi. Cara normatif ini memang memerlukan waktu. Perlu diingat pula, dengan komposisi hakim konstitusi—tiga perwakilan pemerintah, tiga dari Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga dari Mahkamah Agung—kemungkinan memenangi gugatan memang tidak terlalu tinggi.
Selama pasal-pasal yang melemahkan tetap berlaku, penyidik dan penyelidik KPK tidak boleh menyerah. Mereka bisa memanfaatkan aturan abu-abu akibat sejumlah pasal yang bertentangan dan tidak perlu takut menghadapi gugatan praperadilan. Komisi itu perlu terus bersemangat melawan koruptor. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo