Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Nobel Ekonomi untuk Sebuah Gerakan

Vivi Alatas, Peneliti kemiskinan

19 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Ilustrasi: imam yunni
Perbesar
Ilustrasi: imam yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ketika media sosial dan berita ramai mengabarkan bahwa Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer menjadi pemenang Hadiah Nobel Ekonomi tahun ini pada 14 Oktober malam, pikiran saya terbang ke masa 22 tahun silam. Ingatan saya terantuk pada sebuah ruangan di tingkat tiga di Bendheim Hall Princeton, ketika saya masih menjadi mahasiswa doktoral tahun kedua di Departemen Ekonomi Princeton University, Amerika Serikat.

Setiap Rabu siang, ruangan itu menjadi ruang Seminar Research in Development Studies. Pembicara yang hadir adalah para profesor atau asisten profesor dari universitas lain yang berbagi hasil penelitian mereka dan berharap mendapat masukan berarti terutama dari Angus Deaton, mahaguru Princeton. Pada sebuah Rabu siang, tak seperti biasanya, pembicara yang datang bukan seorang profesor.

Ia masih kuliah di Massachusetts Institute of Technology. Kalau tidak salah, ia masih tingkat tiga. Namanya Esther Duflo, asal Paris, Prancis. Dengan lugas, tangkas, cerdas, dan tuntas, perempuan yang masih 24 tahun itu memaparkan hasil penelitiannya. Saya lihat mata Angus Deaton berbinar. Juga dua mahaguru Princeton lain, Christina Paxson dan Anne Case. Yang membuat dada saya berdegup adalah apa yang dipaparkan Duflo merupakan hasil penelitiannya tentang Indonesia.

Ia baru pulang meneliti dampak pembangunan sekolah dasar inpres terhadap angka partisipasi sekolah dan upah lulusannya setelah bekerja. Sepanjang menyimak presentasinya, diam-diam saya menyemangati diri sendiri bahwa penelitian dengan topik Indonesia bisa menghasilkan disertasi yang keren. Duflo telah melakukannya. Sebab, risetnya amat bermanfaat bagi orang miskin.

Setelah seminar 22 tahun lalu itu, dan selama masa yang panjang tersebut, Duflo terus meneliti dengan topik-topik yang membumi dalam upaya memberantas kemiskinan. Ia meneliti bersama dosen MIT yang kemudian menjadi suaminya, Abhijit Banerjee, dan koleganya, Michael Kremer. Menurut panitia Hadiah Nobel, riset ketiganya telah memudahkan pertanyaan rumit dan besar tentang kemiskinan, yang lama dicari jawabannya oleh para ekonom.

Pencarian solusi mengurangi kemiskinan acap tidak kasatmata. Hambatannya beragam. Sering kali dampak dari pilihan kebijakan tak sesuai dengan yang diprediksi dalam teori. Sebuah teori tidak bisa memberikan gambaran mana yang lebih tepat dalam meningkatkan kualitas pendidikan: menambah guru atau memberikan pendampingan pelajaran yang sesuai dengan tingkat ketertinggalan anak terhadap pelajaran. Teori bahkan tidak bisa menyediakan prediksi pasti mana yang lebih tepat dalam mendekati problem orang miskin: pendekatan komunitas atau pendekatan sistem penilaian berdasarkan model statistik, yang disebut dengan proxy means testing (PMT).

Apa yang dilakukan ketiga ekonom tersebut memecahkan kebuntuan itu. Mereka mencoba mengurai langkah demi langkah pilihan kebijakan memakai pendekatan empiris. Mereka mengukur dampak sebuah intervensi dengan mengomparasikan hasilnya, lalu membandingkannya (counterfactual) dengan apa yang terjadi jika intervensi tersebut tidak dilakukan.

Tantangan utamanya adalah mendapatkan estimasi nilai counterfactual yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam ekonomi, mendapatkan nilai ini tidak mudah. Kita tidak bisa membandingkan nilai statistik sebelum dan sesudah intervensi karena bisa jadi ada hal selain kebijakan yang mempengaruhinya. Kita juga tidak bisa sekadar membandingkan sampel penerima manfaat dengan yang tidak menerima manfaat dalam sebuah kebijakan. Sebab, bisa jadi perbedaan datang dari hal-hal lain di luar program.

Untuk mendekatinya, tiga ekonom itu memakai randomized control trial (RCT), yang membagi kelompok orang miskin penerima intervensi kebijakan dan kelompok yang menjadi kontrol secara acak. Cara ini menjadi pilihan karena pendekatannya bisa memberikan nilai counterfactual yang bisa dipertanggungjawabkan. Duflo, Banerjee, dan Kremer bukan ilmuwan pertama yang memakai pendekatan RCT. Tapi mereka mempopulerkannya.

Pada 2003, Duflo dan Banerjee, bersama Sendhil Mullainathan, mendirikan Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) dengan dukungan dana dari Abdul Latif Jameel, pengusaha Arab Saudi. Dengan mendirikan J-PAL, pasangan ini bukan lagi sekadar peneliti. Lebih dari itu, mereka tengah membangun sebuah gerakan. Gerakan yang mendorong para peneliti dan banyak institusi antusias melakukan riset tentang kemiskinan memakai pendekatan RCT.

Setapak demi setapak, sedikit demi sedikit, para peneliti menyingkap cara mengatasi tantangan terbesar dunia hari ini: kemiskinan dan ketimpangan. Tentang apa yang boleh dan tak boleh, tentang apa yang harus dan terlarang, dalam membuat kebijakan mengatasi problem itu. Duflo dan Banerjee menuliskan dengan apik pembelajaran mengurai jerat kemiskinan dari seluruh penjuru dunia dalam buku The Poor Economics: A Radical Rethinking of the Way to Fight Global Poverty (2011).

Gerakan itu terus tumbuh tidak hanya karena terilhami sukses yang dicapai ketiganya, tapi juga berkat keseriusan mereka dalam berbagi ilmu dan membesarkan J-PAL. Mereka gigih membuat pelatihan di pelbagai penjuru dunia dalam merumuskan kebijakan mengatasi kesenjangan. Duflo dan Kremer pernah datang ke Indonesia untuk berbagi ilmu dengan sejumlah peneliti muda.

Lewat J-PAL, keduanya telah menunjukkan bahwa mereka tak hanya menjadi profesor ekonomi yang prestasinya sekadar membuat artikel yang diterbitkan jurnal bergengsi. Duflo menyebutnya “economist as plumber”—ekonom yang menyingsingkan lengan baju turun membantu pemerintah menyusun kebijakan mengatasi kemiskinan berbasis bukti empiris dengan memperhatikan detail permasalahan, implementasi, dan membumikannya ke dalam praktik.

Sementara Duflo lebih dulu meneliti Indonesia pada 1997-1999, Banerjee lebih sering datang ke Indonesia untuk meneliti dalam sepuluh tahun terakhir. Saya intens berinteraksi dengan ekonom kelahiran Kalkuta, India, 58 tahun lalu, itu karena turut meneliti dan menulis empat jurnal bersama Banerjee tentang Indonesia. Kami mendiskusikan metode riset untuk mendapatkan cara tepat memperoleh data guna memetakan kemiskinan di negara dengan 17 ribu pulau ini, dengan tingkat kerentanan kemiskinan yang cukup tinggi.

Kami mencoba menelaah melalui serangkaian eksperimen untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok riset ini. Misalnya mana yang lebih baik, memakai model statistik ala PMT atau melibatkan komunitas dalam menentukan penerima manfaat kebijakan? Apakah akan terjadi elite capture- jika komunitas dilibatkan? Bagaimana dengan self-targeting? Bagaimana cara mendorong keluarga mapan tidak ikut mendaftar? Apakah sebaiknya melakukan pendekatan targeting yang berbeda untuk kondisi geografis dan pola komunitas yang berbeda?

Banyak pelajaran yang kami dapatkan. Misalnya, walau PMT secara rata-rata memiliki kinerja lebih baik, komunitas targeting lebih tepat dalam mengenali keluarga yang paling fakir di komunitasnya sehingga kita perlu memadukan keduanya. Keterlibatan komunitas juga menghasilkan tingkat kepuasan yang lebih baik. Adapun self-targeting terbukti cukup menjanjikan untuk dipakai dalam upaya memperbaiki kinerja metode targeting.

Kami bekerja sama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Badan Pusat Statistik, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kementerian Sosial dalam melakukan berbagai eksperimen sehingga hasilnya bisa dijadikan pertimbangan para penentu kebijakan dalam memperbaiki sistem targeting bantuan sosial.

Nobel adalah pengakuan akan kontribusi dan kerja tekun mereka dalam menanggulangi kemiskinan. Ketika jumpa wartawan setelah pengumuman Nobel itu, ketiganya berharap apa yang mereka lakukan sebagai peneliti ataupun aktivis terus berjalan.

Kremer, warga Amerika Serikat 54 tahun lulusan Harvard University, berharap momentum ini memberikan semangat kepada para peneliti masalah kemiskinan untuk terus berkarya. Duflo, sebagai perempuan kedua penerima Hadiah Nobel Ekonomi, ingin apa yang ia raih menjadi inspirasi bagi perempuan untuk sukses, diakui, dan terus berkarya. Adapun Banerjee berharap momentum ini bisa membuka pintu gerakan penanggulangan kemiskinan berbasis bukti melalui kebijakan lebih lebar.

Harapan mereka adalah harapan kita juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus