Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghentian penyidikan perkara pornografi pemimpin Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Syihab, sudah tepat walau telat. Sejak awal, polisi seharusnya tak perlu mengusutnya. Kasus ini merupakan ranah pribadi yang tak berpaut dengan urusan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hakikat aturan pornografi bertujuan melindungi privasi seseorang dari kejahatan penyebaran gambar atau foto pribadi yang bukan untuk konsumsi publik. Undang-Undang Pornografi juga melindungi anak-anak dan remaja dari penyebaran gambar-gambar tak senonoh. Dalam kasus Rizieq, polisi tak pernah menjelaskan asal-usul gambar porno itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika polisi ingin mengusut kasus pornografi yang melibatkan Rizieq, seharusnya si penyebar yang lebih dulu diperiksa. Penyebaran pornografi merupakan tindak kejahatan. Orang yang gambarnya disebarkan semestinya justru dianggap sebagai korban. Lain halnya jika pembuat gambar porno itu beriktikad buruk, sengaja memproduksi, lalu juga menyebarkannya demi kepentingan bisnis atau yang lain.
Langkah penegak hukum yang gegabah dalam menjerat Rizieq dengan delik pornografi hanya mengundang spekulasi miring. Jerat untuk Rizieq terkesan sebagai upaya "mengimbangi" pengusutan kasus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan tuduhan penistaan agama.
Permainan politik di balik kasus Rizieq itu berlangsung sampai sekarang. Keluarnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus Rizieq pun berbau politik. Ada tanda-tanda Rizieq dan FPI mulai dirangkul pemerintah. Indikasi ini tampak dari ucapan terima kasih Rizieq yang disampaikan secara khusus kepada pemerintah dan kepolisian atas penerbitan SP3 itu.
Dalam pernyataan lewat video yang disiarkan Front TV, Rizieq juga menyerukan agar masyarakat dari berbagai golongan, suku, dan agama menjaga ketertiban pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak tahun ini serta pemilihan anggota legislatif dan presiden pada 2019. Padahal, selama ini, Rizieq dikenal gencar "menyerang" keyakinan agama lain dan menyerukan perlawanan terhadap pemerintah.
Nuansa politis di balik penghentian kasus Rizieq ini telah mencederai hukum sebagai sarana untuk menegakkan keadilan. Hukum malah menjadi alat permainan politik. Penghentian kasus Rizieq diduga berkat campur tangan petinggi terhadap lembaga penegak hukum. Tujuannya boleh jadi demi meningkatkan popularitas Presiden Joko Widodo di mata sebagian umat Islam, terutama yang bersimpati kepada Rizieq.
Pemerintah seharusnya tetap bersikap tegas terhadap Rizieq dan FPI. Kasus pornografinya memang tak layak diusut. Tapi masih banyak perkara yang semestinya diproses. Misalnya dugaan tindakan main hakim sendiri kalangan FPI dengan merusak kafe-kafe yang mereka anggap sebagai sarang maksiat. Polisi perlu juga menelisik lebih jauh keterlibatan organisasi itu dalam penyerangan dan pembunuhan warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada 2011. Rizieq harus bertanggung jawab bila FPI terbukti terlibat dalam kasus-kasus tersebut.
Presiden Jokowi memang perlu mendorong banyak pihak untuk menciptakan suasana politik yang lebih nyaman. Atmosfer politik saat ini dipenuhi ujaran kebencian dan hasutan dengan mengeksploitasi sentimen agama. Tapi upaya Presiden menciptakan atmosfer politik yang lebih adem itu tak harus dengan menghalalkan segala cara. Mempermainkan hukum untuk merangkul pihak yang selama ini mempolitisasi agama jelas tindakan yang tidak bijak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo