Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Jangan Terpaku pada Pengakuan Rahardi

Rahardi Ramelan mengaku mengeluarkan dana Bulog dan Akbar Tandjung mengaku pula menerimanya. Ke mana kasus ini bergulir?

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAHARDI Ramelan akhirnya pulang juga dari Amerika Serikat dan diperiksa tim penyidik Kejaksaan Agung. Itu setelah Kejaksaan Agung mengancam untuk memaksanya pulang lewat bantuan Interpol. Selesai diperiksa, mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Kepala Bulog ini langsung dikenai larangan ke luar negeri selama setahun. Mencermati tuduhan jaksa dalam pemeriksaan awal, Rahardi tampaknya dengan mudah bisa berkelit. Ia dituduh menyalahgunakan uang dari dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 54,6 miliar. Tapi ia dengan ringannya menjawab, dana itu memang ia keluarkan, tapi atas perintah Presiden (waktu itu) B.J. Habibie. Soal ke mana uang disalurkan pun ia gampang pula menyebutkannya. Rp 40 miliar diterima oleh Akbar Tandjung, yang saat itu adalah Menteri-Sekretaris Negara. Rp 10 miliar ia serahkan ke Jenderal Wiranto, saat itu Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima TNI. Lalu, sisanya untuk PT Goro Batara Sakti, mitra Bulog dalam kasus tukang guling tanah. Akbar Tandjung mengaku menerima cek sebesar itu tapi langsung menyerahkannya kepada sebuah yayasan—ia lupa namanya—untuk proyek Jaring Pengaman Sosial (JPS). Wiranto belum memberikan komentar meski Rahardi menyebutkan uang Rp 10 miliar itu untuk Pam Swakarsa. Nah, kalau Wiranto juga mengakui adanya kucuran dana itu, lalu PT Goro Batara Sakti juga benar menerimanya, bukankah Rahardi hanya sekadar "tukang bagi duit" atas perintah presiden? Bisa jadi ia "bebas" dari tuduhan korupsi. Itu logika yang sangat sederhana, memang. Namun, karena yang dibagi-bagi ini uang milik rakyat, penegak hukum tentu tak perlu diajari bagaimana mengembangkan kasus ini lebih luas. Kasus ini tak lain dari persekongkolan para pejabat negara untuk menggerogoti uang rakyat lewat pos yang sangat rapuh, dana nonbujeter Bulog. Oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sudah disarankan agar dana ini dimasukkan ke kas negara, tapi Rahardi menolaknya. Peta politik saat itu menempatkan Habibie, Akbar Tandjung, Wiranto, dan Rahardi dalam satu kelompok kepentingan, yakni bagaimana mempertahankan kekuasaan. Akbar Tandjung bisa berkilah uang itu tak sepeser pun digunakan Golkar. Tapi apakah yayasan yang "lupa namanya" itu bisa membuktikan bagaimana uang itu digunakan dengan transparan? TNI mungkin dengan mudah mempertanggungjawabkan uang Rp 10 miliar untuk Pam Swakarsa, tapi apa urgensi membentuk Pam Swakarsa saat itu? Dan untuk kepentingan siapa "tentara partikelir" yang gentayangan membawa bambu itu? Hanya untuk kekuasaan, yang ternyata tidak pula dikehendaki rakyat dan akhirnya tumbang. Sisi-sisi itulah yang semestinya lebih ditekankan pada kasus ini. Dan tentu pula pihak penyidik tidak hanya terpaku pada jumlah Rp 54,6 miliar itu, tapi juga menelusuri sejumlah lainnya, karena masih banyak dana Bulog yang keluar semasa Rahardi berkuasa di sana. Bulog bukan cuma milik Rahardi, Beddu Amang, Akbar Tandjung, atau Habibie, tapi milik seluruh rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus