Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kalau ITB menjadi UTB

Tiga calon rektor ITB lolos ke putaran akhir. Ada yang mau ITB menjadi universitas, ada pula yang menyebut ITB tidak sehat.

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menjadi universitas atau tetap institut? Pilihan itu kini ditawarkan pada Institut Teknologi Bandung (ITB). Sebab, seorang kandidat rektor ITB menawarkan perguruan tinggi ini berubah. Adapun dua calon lain memilih menggenjot potensi ITB setelah menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Gagasan mengubah ITB menjadi universitas dilontarkan Prof. M. Sahari Besari. Dalam makalah yang berjudul "The Future of Capitalism", dia mengusulkan agar falsafah pendidikan di ITB dikaji kembali. Sebab, dalam pendidikan sains, rekayasa, dan seni yang kini ada di ITB, kurang ditinjau efek sosioekonomiknya di masyarakat. Sahari menyampaikan idenya itu dalam makalah yang diajukan pada Senat Akademik ITB untuk proses pemilihan calon rektor ITB, 2001-2006. Ternyata, gagasan ini berhasil menghantarkan Sahari melaju ke tahap akhir pemilihan rektor. Dari lima calon yang bersaing, Sabtu dua pekan lalu, senat meloloskan tiga nama. Mereka semuanya berasal dari kalangan pengajar di ITB. Selain Sahari Besari dari Departemen Teknik Sipil, ikut lolos Dr. Kusmayanto Kadiman dari Departemen Teknik Fisika, dan Bana G. Kartasasmita, Ph.D. dari Departemen Matematika. Adapun dua calon yang tersisih adalah Prof. Lilik Hendrajaya (rektor saat ini), dan Prof. Filino Harahap. Proses pemilihan dengan melalui sejumlah tahap seleksi ini—diawali dengan pengumuman terbuka—merupakan hal yang pertama kalinya terjadi di perguruan tinggi Indonesia. Pada Agustus lalu, 293 nama masuk ke panitia seleksi. Nama seperti B.J. Habibie, Amien Rais, ataupun Fuad Hassan akhirnya gugur dalam seleksi tahap berikutnya. Dalam tahap akhir pemilihan, senat akademik ITB memberikan 26 suara pada Sahari. Sejumlah kalangan menyebut makalah Sahari menarik perhatian anggota senat. Sahari, yang kini berusia 69 tahun, melihat ITB memperlakukan sains dan rekayasa lebih sebagai tool (perkakas) ketimbang meninjaunya dari aspek task (fungsinya). "Akibatnya, lulusan ITB hanya menjadi tukang," kata Sahari kepada TEMPO. Sahari berpendapat, sudah saatnya ITB mempunyai fakultas sosial, ekonomi, dan humanitas. Karena itu, bagi Sahari, sangat wajar jika ITB berkonstitusi universitas. Namun, popularitas Sahari masih kalah ketimbang Dr. Kusmayanto Kadiman, yang meraih 33 suara. Menurut Dr. Noorsalam, dibandingkan dengan kedua kandidat lainnya, Kusmayanto memang cukup populer. "Dia dikenal dekat dengan karyawan, pengajar, dan mahasiswa ITB," kata pengajar di Pusat Penelitian Antar-Universitas Ilmu Hayati ini. Usia Kusmayanto, yang masih 47 tahun, membuatnya bisa masuk ke pergaulan semua kalangan. Dan ini dibuktikan dalam jajak pendapat yang dilakukan di lingkungan ITB, Kusmayanto memperoleh suara terbanyak. "Saya yakin menang karena paling fit," kata Kusmayanto tentang kansnya. Fit karena dirinya sudah membangun jaringan kerja sama dengan pengusaha dan pemerintah di dalam dan luar negeri. "Kini era saya. Orang yang sedang berperan di swasta maupun pemerintahan adalah angkatan saya," katanya yakin. Dalam makalahnya yang berjudul "ITB BHMN (Badan Hukum Milik Negara) sebagai Agen Pembaharu Indonesia", Kusmayanto melihat perlunya alumni ITB masuk dalam jejaring di masyarakat. Jika orang-orang ITB bisa masuk di banyak kelompok masyarakat, peran mereka dalam riset dan kewirausahaan akan besar. "Jangan seperti sekarang, ITB itu yang tampak hanya gajahnya," kata Kusmayanto. Adapun kandidat ketiga, Bana G. Kartasasmita, Ph.D., menyebut ITB saat ini tidak sehat. Sehat sendiri, menurut Bana, yang meraih 24 suara senat, berarti bebas penyakit, sejahtera, berproduksi, berfungsi atau berperan maksimal, serta berkomunikasi. Bana membawakan makalah berjudul "ITB yang Sehat dengan Sosok yang Tepat dan Wajar sebagai Pembaharu Masyarakat". Untuk membuat ITB sehat, kandidat yang kini berusia 64 tahun ini merencanakan membentuk dua badan, yaitu bagian akademik dan bagian penggalangan dana. Bagian akademik menjadi wadah kegiatan akademik perguruan tinggi, sementara penggalangan dana berkutat pada kegiatan yang berorientasi pasar. Namun, kaum akademisi tidak turut campur dalam norma-norma profesional pada bagian penggalang dana. Tiga kandidat itu sekarang sedang menunggu keputusan Majelis Wali Amanat (MWA). Akhir bulan ini "MPR"-nya ITB itu akan melakukan pemungutan suara. Mereka terdiri dari wakil pemerintah, senat akademik, mahasiswa, pemerintah daerah, pegawai, alumni, dan rektor. Suara yang paling ditunggu terutama dari pemerintah, melalui Departemen Pendidikan Nasional, yang menguasai 35 persen suara. Apakah ITB akan mengganti nama jika benar terjadi perubahan status? Semua bergantung pada kemauan sidang MWA dalam memilih rektornya. Agung Rulianto, Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus