KETIKA Afganistan disirami bom Amerika, kelompok Islam di sini sepakat: serangan itu harus dihentikan. Tak ada kecuali. Tapi, ketika muncul suara meminta pemerintahan Megawati memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat, paling tidak suara kelompok Islam terpecah tiga. Ada yang bersuara keras, ada yang moderat, ada yang diplomatis—seperti pengelompokan oleh Komarudin Hidayat, pengajar kelompok Paramadina.
Kelompok moderat dan diplomatis pada dasarnya berpendapat bahwa setiap aksi serangan—baik ke Afganistan maupun ke World Trade Center—tak bisa dibenarkan. Tapi, memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat adalah soal lain. Meski dengan alasan berbeda-beda, dua kelompok ini tidak setuju Indonesia putus hubungan dengan AS. Pengikut dua kelompok ini adalah yang terbesar di sini.
Kelompok garis keras, yang jumlahnya lebih sedikit, berpendapat lain. Pemutusan hubungan dengan AS adalah keharusan. Paling tidak, di mata kelompok ini, aksi putus hubungan (sementara) itu mempunyai tiga tujuan. Pertama, agar pemerintahan Megawati bersikap tegas menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap tindakan Amerika yang dianggap brutal. Kedua, agar pemerintahan Megawati mengakomodasi suara kelompok ini jika tidak ingin hilang legitimasi di mata "publik Islam". Ketiga, agar pemerintahan Megawati mulai memikirkan menjalin kerja sama dengan negara-negara di luar AS, misalnya Timur Tengah, untuk mengimbangi dominasi AS di sini.
Di tengah suara yang terpecah itu, sayang sekali Majelis Ulama Indonesia, lembaga yang seharusnya mewakili suara tiga kelompok Islam itu, berdiri satu barisan dengan kelompok keras. MUI juga mendesak Megawati agar memutuskan hubungan sementara dengan AS, serta menyerukan jihad untuk membela muslim di Afganistan.
Barangkali, soal jihad bisa diperdebatkan: apakah itu memang "wilayah garapan" MUI? Katakanlah itu wilayah kerja MUI, tapi repot mengatakan soal hubungan diplomatik juga wilayah yang harus dirambah MUI—organisasi yang pernah melarang lagu Takdir, yang dinyanyikan Desy Ratnasari, karena syairnya dianggap menghujat Tuhan.
Seharusnya MUI mendengar kata Amien Rais dari Muhammadiyah bahwa posisi ekonomi Indonesia adalah "tangan di bawah" AS. Ada banyak aspek yang harus dikaji sebelum memutuskan menggunting hubungan dengan AS. Malaysia, yang nyaris tak punya utang, berada pada posisi yang jauh lebih "bagus" dari Indonesia untuk berkata lantang kepada AS. Toh, mereka belum terdengar akan memutuskan hubungan diplomatik.
Jika aksi terus meningkat, ekonomi kita kian babak-belur, rakyat yang sebagian muslim ini juga yang kena getahnya. Dan MUI seharusnya ikut memikirkan cara "menyalurkan" aksi di dalam negeri itu. Misalnya, bagi mereka yang memutuskan ikut ke Afganistan sebagai mujahid ataupun relawan, MUI bisa mengoordinasi pengumpulan dana kemanusiaan dan mengirimnya ke Afganistan. Kalau perlu, MUI bisa menyediakan kapal laut bagi mereka yang ingin berangkat. Dananya mungkin bisa dikumpulkan dari berbagai perusahaan—terutama sumbangan perusahaan yang kini ketar-ketir kena demo setiap hari, seperti McDonald itu.
Kalau terjadi, itulah sumbangan nyata oleh MUI—baik untuk para relawan maupun untuk kegiatan ekonomi di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini