Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Isu Kudeta Militer Netralitas di Air Keruh

Buntut dari memorandum, hubungan Presiden dan TNI merenggang. Tapi, kemungkinan kudeta, nanti dulu.

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI TENGAH kondisi yang kalut, para pendekar tua merasa perlu turun gunung. Jangan dulu diamati jurusnya, dengarlah petuahnya. Suara mereka bergema dalam pertemuan Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri?sebuah payung para bekas petinggi TNI, di Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Bertalian dengan memorandum buat Presiden Abdurrahman, yang dimaklumatkan awal Februari silam, mereka menyerukan agar DPR dan MPR bertindak konstitusional dan bijaksana. Lalu, Presiden diimbau agar tidak bereaksi secara emosional dan tidak proporsional. Seruan yang terkesan menyejukkan itu dibacakan oleh Mayjen (Purn.) E.W.P. Tambunan. Sejumlah mantan pejabat tinggi datang dan turut merestui. Mereka di antaranya adalah Edi Sudradjat, Kharis Suhud, Leo Lopulisa, Sintong Panjaitan, Syamsir Siregar, Arie Sudewo, dan Harsudiono Hartas. Dan, ini yang penting, mereka juga mengingatkan adanya pihak yang berupaya menjauhkan tentara dan polisi dari rakyat. Maka, menurut para purnawirawan, TNI/Polri perlu berpihak pada rakyat, bangsa, dan negara. Diintip dari kacamata politik, petuah itu bagaikan memberi sokongan terhadap sikap Fraksi TNI/Polri yang tak membela Presiden Abdurrahman. Di DPR, mereka justru telah mendukung memorandum. Ini cukup mengejukkan. Biasanya, para wakil tentara dan polisi bersikap netral dengan memilih abstain. Tapi, agak susah menegakkan netralitas dalam air keruh. Nyatanya, langkah Fraksi TNI/Polri direstui oleh KSAD Jenderal Endriartono Sutarto. Bagi lulusan Akabri tahun 1971 itu, netralitas berarti menegaskan suatu kebenaran. "Kalau kita membenarkan dua ditambah dua sama dengan empat," kata Endriartono, "itu netral." Tak urung, Presiden merasa ditinggalkan. Lihat saja reaksinya. Dukungan TNI/Polri terhadap memorandum itu, menurut Presiden, gara-gara ada hasutan kelompok kecil di lembaga tersebut. "Jadi, sebenarnya ada salah informasi di Fraksi TNI/Polri," katanya. Dan ketegangan sempat berlangsung. Apalagi beberapa hari sebelum memorandum diamini, mereka sudah berbeda sikap. Ceritanya, pada hari Minggu, dalam suatu acara makan pagi di Istana bersama para petinggi TNI dan Polri, Presiden melontarkan suatu keinginan. Ia hendak memberlakukan keadaan darurat yang dilanjutkan dengan pembubaran parlemen. Tapi, usulan itu ditolak oleh petinggi TNI, termasuk KSAD Endriartono. "Panglima TNI dan kami memandang hal itu tidak pas untuk memperbaiki kondisi bangsa," ujar Endriartono kepada TEMPO. Di luar gelanggang, selisih sikap tersebut memercikkan isu seram: kudeta. Desas-desus itu mencuat seiring beredarnya kabar bahwa Endriartono dan kawan-kawan bakal dicopot. Konon, yang akan dinaikkan menjadi KSAD adalah Letjen Agus Wirahadikusumah, yang sudah lama dielus Presiden Abdurrahman. Tapi, sebuah sumber TEMPO menyebut, jurus Presiden itu mentah karena tidak mendapat sokongan dari Wakil Presiden Megawati. Suasana yang kian tegang membuat kalangan petinggi TNI perlu mendengar saran dari para sesepuh. Pada hari-hari di seputar munculnya memorandum DPR, kabarnya para purnawirawan TNI kerap mengadakan pertemuan dengan jenderal aktif. Tak mengherankan jika ada yang menganggap lontaran pernyataan para sesepuh tadi sebetulnya mewakili suara kalangan TNI/Polri. Dan Harsudiono Hartas pun mengakui: "Hati nurani mereka sama, kok." Malah, dalam perhelatan berbeda, dengan wadah Forum Pasca-45, Harsudiono, bekas Kassospol ABRI itu, berbicara lebih lantang. Ia menegaskan, bila empat bulan mendatang pemerintah gagal, hendaknya dengan jiwa besar bersedia menyerahkan mandatnya kepada rakyat. Lalu, tuturnya kepada TEMPO, perlu dibentuk pemerintahan presidium untuk melanjutkan reformasi, dan peran TNI diperlukan untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara. Jadi, bukan kudeta? Begitulah. Dari perhitungan politik, menurut J. Kristiadi, TNI tidak mungkin melakukan kudeta sekarang. Dengan disiplin yang masih rendah, sulit bagi TNI menghadapi serangan balik dari rakyat yang berani melawan. Apalagi, TNI tidak mempunyai kartu truf seperti senjata nuklir yang membuat tentara Pakistan masih ditakuti. Belum lagi soal kekurangan senjata di kalangan TNI. Pendek kata, tutur pengamat politik dari CSIS itu, "Bagaimana bisa memerintah dengan tangan besi, wong, besinya tak ada." Gendur Sudarsono, Ardi Bramantyo, Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus