Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Jokowi dan Kabinet Orang Ramai

4 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DICOBLOS  lebih dari 70 juta orang pada pemilihan umum 9 Juli lalu, presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla sudah selayaknya melibatkan orang banyak dalam mencari figur terbaik yang pantas mengisi kabinet. Keterlibatan masyarakat merupakan salah satu faktor penting untuk membantu mewujudkan pemerintahan yang bersih, profesional, dan partisipatif. Pendekatan ini juga merupakan koreksi atas model representasi yang sepuluh tahun terakhir dipakai pemerintah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya cenderung mengutamakan unsur perwakilan dan mengabaikan faktor kecakapan dalam mencari anggota kabinet. Dengan dalih menggunakan hak prerogatif, Presiden memanggil kandidat menteri ke kediamannya untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan. Seremoni politik yang artifisial tersebut ditonton masyarakat lewat liputan televisi tanpa mereka punya kesempatan ikut memberi masukan.

Karena itu, upaya Jokowi menjaring nama anggota kabinet melalui media sosial layak diapresiasi. Aspirasi itu kini berhamburan di jagat maya. Di laman Facebook dengan judul "Kabinet Alternatif Usulan Rakyat", orang-orang antusias menyodorkan nama yang pantas menduduki posisi menteri. Sejumlah kelompok masyarakat menggelar survei kabinet pilihan responden.

Cara ini bisa diduga akan memunculkan beragam calon: dari kandidat ahli hingga yang cuma pandai cari muka. Dari sang pemikir hingga selebritas media sosial. Bagaimanapun, ini langkah elok membayar dukungan rakyat. Membuka kesempatan kepada publik untuk mengusulkan calon menteri merupakan wujud kerendahhatian pemerintah. Biar saja jika ada kandidat abal-abal yang muncul. Toh, keputusan akhir berada di tangan presiden.

Sejak awal Jokowi memang bertekad membentuk kabinet kerja. Sikap ini diwujudkan ketika ia membentuk koalisi tanpa syarat dengan partai politik pendukung. Maksudnya, ia tak bagi-bagi kursi sebagai syarat pembentukan koalisi. Jokowi sadar: ia tak boleh tersandera kepentingan partai politik.

Belakangan, terbukti partai memang berjasa dalam mengupayakan "boarding pass" bagi Jokowi untuk masuk ke arena pemilihan. Namun kemenangan Jokowi sesungguhnya tidak ditentukan oleh partai—organisasi dengan mesin yang tak selalu lancar berputar—tapi oleh relawan  dan keterlibatan orang ramai. Luas diyakini dukungan relawan inilah yang "menyelamatkan" elektabilitas Jokowi setelah melorot dua pekan menjelang hari pencoblosan.

Dengan sokongan masyarakat luas, terbuktilah bahwa partai bukan "pemegang saham mayoritas" dalam pemerintahan mendatang. Keberadaan partai memang tak patut diabaikan, tapi mereka bukan segala-galanya. Demokrasi menempatkan partai politik sebagai institusi penting yang secara formal menyalurkan aspirasi orang banyak. Tapi, dalam konteks Indonesia pascareformasi 1998, partai lebih merupakan perangkat prosedural ketimbang "roh" yang menggerakkan keterlibatan orang ramai.

Tak sulit bagi Jokowi untuk menjelaskan kenyataan ini kepada partai pendukung. Sejauh ini ia diketahui luwes berkomunikasi dengan siapa saja. Tak sepatutnya pula partai memaksakan kehendak, misalnya dengan menyorongkan kader ala kadarnya sebagai calon menteri. Partai politik justru akan mendapat simpati publik jika bersedia mendukung kandidat profesional sebagai calon anggota kabinet. Jikapun ada kader partai yang ingin disorongkan, hendaknya itu dilakukan melalui mekanisme seleksi internal yang berlapis-lapis.

Lebih dari sekadar membentuk kabinet profesional, Jokowi kelak tak boleh ragu mengganti anggota kabinet yang terbukti tak cakap bekerja atau terindikasi korupsi. Tak perlu menunggu hingga pembantunya itu berstatus tersangka. Dengan bukti permulaan yang meyakinkan saja, presiden semestinya sudah berani menyatakan talak tiga.

Masih ada waktu sekitar tiga bulan bagi Jokowi untuk memilih kandidat terbaik. Senyampang itu, ia layak pula menyiapkan transisi pemerintahan. Patut dipuji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah pula menyiapkan peralihan tersebut. Jika berjalan mulus, peralihan kekuasaan ini akan menjadi yang terbaik sepanjang sejarah Republik. Sebelumnya, pergantian kekuasaan di Indonesia selalu ditandai intrik, bahkan bentrok politik.

Selepas Jokowi dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober nanti, selayaknya kabinet baru sudah siap diumumkan. Setelah itu, pemerintah harus berlari kencang. Beribu pekerjaan di depan mata. Orang ramai—yang menyokong atau tidak menyokong Jokowi—akan menjadi juri yang adil: menanggapi kebijakan yang diambil presiden terpilih dengan jempol tegak atau jempol terbalik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus