Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada yang istimewa dari langkah Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa mempersoalkan hasil Pemilihan Umum 2014 ke Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang merasa dicurangi bisa menggugat ke Mahkamah.
Ini juga bukan gugatan pertama sejak 1999—saat pemilu demokratis pertama digelar pascareformasi. Lima tahun lalu, pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo mengambil langkah serupa. Tuntutan itu ditolak dan pemenang pemilu Susilo Bambang Yudhoyono melenggang ke kursi presiden.
Jika gugatan kali ini disorot masyarakat, itu karena serangkaian drama politik yang terjadi sebelumnya. Awalnya adalah kampanye hitam yang disinyalir dilancarkan kubu Prabowo kepada lawan politiknya, Joko Widodo. Lalu penolakan kubu Prabowo terhadap hasil hitung cepat. Puncaknya: pidato Prabowo yang menyatakan menarik diri dari proses pemilu. Statemen itu dikeluarkan beberapa jam sebelum Komisi Pemilihan Umum mengumumkan kemenangan Joko Widodo dengan selisih sekitar 8,4 juta suara.
Sesungguhnya Prabowo sudah kehilangan legal standing untuk menggugat. Mengundurkan diri dari proses pemilu mudah diartikan sebagai langkah "lempar handuk" atawa mengakui kemenangan lawan.
Tertinggal jutaan suara, gugatan Prabowo dipercaya sulit membalik hasil pemilu. Kecurangan yang sistematis, masif, dan terstruktur harus bisa dibuktikan agar pencoblosan atau penghitungan suara di suatu daerah bisa diulang.
Jikapun gugatannya dikabulkan Mahkamah, tak ada jaminan Prabowo memborong suara dalam pencoblosan lanjutan itu. Pemilu ulang di 13 tempat pemungutan suara di DKI Jakarta, sesuai dengan rekomendasi Badan Pengawas Pemilu, justru menegaskan keunggulan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Banyaknya pemilih yang menggunakan formulir A5—surat yang memungkinkan pemilih mencoblos di luar daerah kediaman—yang dipersoalkan Prabowo, tidak memastikan ada yang lancung dalam proses pemilihan. Permohonan pencoblosan ulang di 5.800 tempat pemungutan suara di DKI Jakarta jelas mengada-ada.
Keraguan Mahfud Md., bekas ketua tim sukses Prabowo-Hatta, tentang ketersediaan dokumen hitung nyata yang memastikan kemenangan Prabowo patut diperhatikan. Selama ini, dokumen itulah yang menjadi dasar optimisme Prabowo bahwa dialah pemenang sesungguhnya. Jika ketua tim pemenangan saja tak mengetahui keberadaan data mahapenting tersebut, sulit untuk tak curiga ada yang tak beres di balik ini semua.
Sidang gugatan Pemilu 2014 harus diamati dengan saksama. Rencana Mahkamah Konstitusi menyiarkan jalannya sidang secara langsung di televisi patut diapresiasi. Acungan jempol juga layak diberikan karena Mahkamah telah mengunggah dokumen gugatan ke Internet sehingga dapat diakses orang banyak. Keterlibatan publik, di antaranya lewat media sosial, diyakini bisa mencegah kecurangan dan main mata.
Sesuai dengan aturan, putusan Mahkamah—paling lambat diketuk 21 Agustus nanti—bersifat final dan mengikat. Apa pun hasilnya harus diterima dengan legawa. Jangan pernah berpikir untuk terus mempersoalkan hasil pemilu. Tak ada gunanya membawa kasus ini ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pemilu adalah cara paling demokratis untuk mencari pemimpin. Menang-kalah soal biasa. Yang menang jangan jemawa. Yang kalah tak perlu ngambek berlama-lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo