Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemala Atmojo
Penonton Film
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diskusi terbuka yang diselenggarakan oleh Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) bersama Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada awal Mei lalu membuktikan bahwa sebagian insan perfilman belum memahami sepenuhnya hak cipta film dan hak-hak lain yang berkaitan dengannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diskusi itu mengambil topik "Hak atas Karya Intelektual Perfilman Indonesia dalam Kaitan Perizinan Produksi". Ada dua pokok persoalan yang hendak dibahas, yakni karya intelektual perfilman (hak cipta) dan perizinan produksi. Ada peserta yang tidak bisa membedakan antara hak cipta (copyright) dan merek dagang (trademark). Ada yang tak paham sejarah dan pentingnya hak cipta film. Apalagi ketika menyangkut hal-hal khusus yang berkaitan dengan film, seperti judul, parodi, satire, musik, klip, sinkronisasi, sound like, look like, fair use, public domain, karakter, dan kostum. Banyak insan film Indonesia-saya duga juga sebagian pengacara hak cipta-yang masih gagap menghadapi persoalan-persoalan seperti itu.
Khusus mengenai judul film, yang mendapat banyak perhatian dalam diskusi tersebut, hukum Indonesia sebenarnya sudah cukup jelas. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, tidak ada perlindungan bagi karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata. Juga tidak ada perlindungan bagi judul, ide, konsep, prosedur, prinsip, sistem, dan seterusnya. Di Amerika Serikat, secara umum judul film juga tidak diakui memiliki hak cipta, meskipun ada cara-cara tertentu untuk mendapat perlindungan atas judul film. Sebuah judul, secara umum, terlalu pendek untuk dilindungi hak cipta. Lalu adanya-dan mudahnya-pergantian judul, baik oleh pemiliknya, produser, maupun distributor, atas film yang akan dijual ke negara lain membuktikan bahwa judul tidak layak dilindungi secara khusus.
Apakah mungkin judul film itu didaftarkan sebagai merek (trademark)? Merek dalam hukum Indonesia dipahami sebagai tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Jadi, usaha mendaftarkan judul sebagai merek dagang boleh dicoba. Sayangnya, judul film umumnya tidak dapat dilindungi oleh merek dagang. Alasannya, filosofi adanya merek dagang adalah untuk mengidentifikasi sumber suatu produk. Jika Anda membeli sabun mandi (misalnya Lux), menyukainya, lalu ingin membeli lagi, yang Anda lakukan adalah pergi ke toko dan mencari sabun dengan merek yang sama. Maka "Lux" adalah merek dagang yang mengidentifikasi sabun itu. Kemudian nama perusahaan, misalnya "Starvision", adalah merek dagang. Merek itu mengidentifikasi film-film dari sumber perusahaan tersebut. Sedangkan tiap-tiap judul film tidak dapat memiliki merek dagang karena mereka digunakan pada film tunggal dan karena itu tidak mengidentifikasi sumber produk.
Di Amerika Serikat, Kantor Merek Dagang telah mengatakan dengan jelas dan terbuka bahwa judul karya kreatif tunggal tidak dapat didaftarkan (Section 1201.08 Trademark Manual of Examining Procedures). Namun, diduga karena petugasnya lalai atau "kecolongan", ada tiga judul film tunggal (bukan serial) yang diakui sebagai merek dagang: The Blair Witch Project, Reservoir Dogs, dan Judge Dredd. Mungkin kantor itu berasumsi bahwa ini adalah judul untuk film serial, padahal bukan.
Di Amerika, untuk menghindari sengketa yang memakan banyak waktu, energi, dan biaya tinggi, Motion Picture Association of America (MPAA) membentuk "sistem registrasi judul" untuk film yang dipasarkan di sana. Para pembuat film independen dapat mengikuti layanan pendaftaran judul itu dan secara sukarela menandatangani perjanjian. Mereka diminta mematuhi aturan dan ketentuan perjanjian pendaftaran judul. Jika terjadi konflik atas penggunaan judul, para pihak bernegosiasi. Jika negosiasi di antara para pihak gagal, MPAA menyediakan badan arbitrase untuk menyelesaikan konflik. Tapi umumnya para pembuat film independen tidak mau menandatangani perjanjian (Member Title Registration Agreement) itu karena badan arbitrase dianggap tidak independen. Karena itu, para pembuat film yang mendaftar layanan MPAA memilih menandatangani "Non-Member Title Registration Agreement".
Di Indonesia, untuk menghindari kesamaan judul dan isi film, Pusat Pengembangan Perfilman mengurus hal tersebut. Sebelum melakukan pengambilan gambar (shooting), pembuat film diminta menyampaikan pemberitahuan (bukan izin) kepada Pusat dengan melampirkan judul dan sinopsis. Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi kesamaan judul ataupun isi. Inilah yang dimaksudkan oleh Pasal 17 Undang-Undang Perfilman sebagai "melindungi". Undang-undang itu melindungi dari kesamaan judul. Jadi, keliru jika dari pasal itu ditafsirkan judul film memiliki hak cipta dan dilindungi oleh Undang-Undang Perfilman.