M. Sadli
Menteri Pertambangan 1973-1978
KABINET Gus Dur sudah terbentuk. Banyak yang menyambutnya dengan optimisme, tapi tak sedikit yang kecewa dan cemas karena mengkhawatirkan dampaknya yang buruk terhadap pemulihan ekonomi. Yang antara lain menjadi persoalan adalah pilihan atas Bambang Sudibyo sebagai Menteri Keuangan. Sehari-hari menjabat Direktur Program Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada, Bambang Sudibyo rupanya kurang dikenal. Setidaknya ia kalah populer dibandingkan dengan Sri Mulyani Indrawati, misalnya, yang tidak pernah absen melayangkan kritik terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan transisi B.J. Habibie.
Tentu saja nama Bambang Sudibyo lolos setelah melalui berbagai pertimbangan, baik dari Gus Dur, Megawati, maupun Amien Rais. Namun, agar bangsa ini dapat segera terlepas dari keterpurukan ekonomi, akan lebih tepat apabila para menteri yang memegang peranan kunci di bidang ekonomi dipilih dari barisan teknokrat yang sungguh-sungguh profesional dan sudah mengerti persoalannya. Apa boleh buat, hal itu tidak terjadi. Memang, tidak realistis mengharapkan semua menteri ekonomi terdiri atas tokoh profesional nonpartai. Maka, kuncinya, trio Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin), Menteri Keuangan, serta Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama-sama harus menjaga kebijakan ekonomi makro yang cocok untuk keperluan stabilitas dan recovery ekonomi.
Bagi penulis, tak jadi masalah kalau Kwik Kian Gie atau Laksamana Sukardi menjabat salah satu menteri kunci di bidang ekonomi makro ini. Hanya, akan lebih baik memilih Menko Ekuin dan Menteri Keuangan dari satu kubu, semata-mata demi kepentingan koordinasi dan kerja sama yang efektif. Bambang Sudibyo adalah seorang akuntan dan perhatiannya tertuju ke bidang mikro serta institusi ekonomi (BUMN, departemen, dan sebagainya) yang dipandangnya brengsek. Maka, akan lebih tepat kalau Bambang mengawasi BUMN dan Laksamana Sukardi memegang keuangan. Namun, usul seperti ini tentu sudah terlambat.
Bagaimana dengan rencana Gus Dur membentuk Dewan Ekonomi Nasional yang wewenangnya dibuat sangat penting seperti di Amerika Serikat (Council of Economic Advisors to the President)? Rencana ini boleh-boleh saja, tapi risikonya bisa berbenturan dengan menteri-menteri ekonomi di garis depan. Maka, kalau terjadi konflik, nanti Presiden yang harus menengahi dan memutuskan. Masalahnya, apakah Gus Dur siap untuk tiap kali menengahi dan mendamaikan? Bukankah sangat lebih baik jika energinya yang terbatas—karena handicap fisiknya—dicurahkan untuk menyelesaikan masalah-masalah di bidang politik, demi kesatuan republik?
Lalu, apa yang terjadi andaikata pembentukan policy ekonomi tidak lancar karena kekurangan sinergi dan koordinasi antara para menteri dari berbagai latar belakang politik? Atau karena benturan antara dua kelompok, misalnya antara para menteri eksekutif di satu pihak dan Dewan Ekonomi Nasional di pihak lain? Jawabnya adalah recovery ekonomi Indonesia akan terganggu karena kehilangan waktu dan ketidakpastian policy. Kita akan kembali ke awal 1998, ketika Presiden Soeharto membuang waktu dua bulan karena kontroversi currency board. Selama itu pula nilai rupiah semakin terpuruk.
Kali ini, ketidakpastian akan memengaruhi kapan kembalinya arus modal yang dulu lari ke luar negeri dan yang jumlahnya puluhan miliar dolar AS. Modal ini, atau pemiliknya, akan menunggu isyarat penting, yaitu apakah dan kapankah pemerintah bisa menyelesaikan persoalannya dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, sehingga letter of intent (LoI) yang baru bisa ditandatangani dan arus bantuan mereka mengalir kembali. Selama tidak ada kesepakatan dengan IMF, arus modal swasta juga akan wait and see.
Di belakang LoI dengan IMF ini, ada beberapa masalah sangat pelik yang telah lama disinyalir oleh para pakar nonpemerintah, termasuk ekonom dari Universitas Indonesia dan Gadjah Mada. Namun, Menteri Keuangan Bambang Sudibyo tidak tergolong dalam kelompok ekonom makro tersebut. Ia adalah Ketua Dewan Pakar PAN dan sekubu (Muhammadiyah) dengan Amien Rais, dan pilihan atas dirinya secara tak langsung mengesankan bahwa para pembentuk kabinet tidak memiliki sense of crisis. Mungkin dalam hal ini penulis salah, tapi sebuah media asing (Financial Times, 27 Oktober 1999) memberitakan bahwa di belakang Bambang Sudibyo berperan (bekas Menteri Keuangan) Fuad Bawazier, yang—walaupun sudah ditolak keras oleh publik—masih ingin ikut mengatur kebijakan ekonomi di bidang keuangan dan perbankan. Gosip ini berasal dari Jakarta. Dalam kata lain, sebaiknya disadari, dengan transparansi baru, di Indonesia tidak ada lagi yang bisa dirahasiakan. Demokrasi di Indonesia sekarang penuh dengan checks and balances, bahkan whistleblowers (tukang kritik atau tukang bongkar rahasia orang). Ini penting dan baik. Democracy in Indonesia today is too important to be left to politicians only. Para pakar, media massa, serta whistleblowers, semuanya memegang peranan.
Memang, Gus Dur, Amien Rais, dan mungkin juga Megawati tidak menampakkan semangat sense of crisis di bidang ekonomi yang menuntut tindakan-tindakan yang tepat dan menumbuhkan kepercayaan di pasar. Selain itu, pasar tidak dipandang sebagai constituency-nya karena yang diutamakan adalah constituency kelompok politik. Ini sah-sah saja, tapi semua itu ada biaya politiknya. Biaya itu mencakup kesempatan-kesempatan yang tidak dimanfaatkan dan recovery ekonomi yang bisa terhalang. Bagi kaum ekonomi, ini adalah risiko yang sangat besar karena akhirnya bisa memengaruhi stabilitas sosial.
Orang-orang di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengharapkan pemerintah segera bisa menghidupkan kembali "sektor riil". Yang sebetulnya dimaksudkan adalah agar arus kredit dari sektor perbankan mengalir kembali. Namun, penyelesaian masalah perbankan ini sangat bergantung pada masalah-masalah ekonomi makro dan adanya LoI yang baru dengan IMF. Yang dibutuhkan adalah uang, terutama devisa. Tanpa "anggukan" dari IMF dan CGI, arus uang (devisa) ini tidak akan mengalir. Dulu masih ada Ketua Bappenas yang bertanggung jawab atas anggaran belanja pembangunan, tapi sekarang mengapa Bappenas seolah-olah mau dihapuskan? Dulu memang ada gagasan melikuidasi beberapa instansi dalam rangka perampingan pemerintah pusat—untuk menghemat sumber uang yang mulai langka—dan harus lebih banyak dikucurkan ke daerah. Tapi Bappenas kiranya tidak bisa dihapuskan secara mendadak.
Di pihak lain, gagasan untuk merampingkan kabinet juga tidak berhasil. Mengapa Bappenas dikorbankan, sedangkan Menteri Peranan Wanita dipertahankan? Apa urgensinya mengangkat Menteri Pemukiman dan Pengembangan Wilayah? Mengapa Menko Ekuin tidak sekaligus menjadi Ketua Bappenas? Rupanya, sense of urgency para formatur kabinet lebih condong untuk mengakomodasi berbagai kalangan di republik ini yang mau atau merasa harus masuk kabinet.
Gus Dur adalah presiden yang sangat terbuka dan tidak senang akan berbagai ketentuan protokoler. Hampir bisa dipastikan, ia tidak akan meneruskan gaya kepemimpinan Soeharto. Tapi, sementara Presiden Soeharto tidak pernah mau mengganti menterinya, apakah Gus Dur akan mengganti menteri yang "titipan dengan garansi" segera setelah terbukti salah pilih? Gaya demikian pun ada risiko politiknya karena bisa menggoyangkan persatuan serta deal-deal antara para formatur kabinet.
Tak bisa dimungkiri, demokrasi yang kini sedang tumbuh di Indonesia adalah demokrasi "multidimensional". Dimensi pertama adalah demokrasi antarparpol di DPR. Dimensi kedua adalah "parlemen jalanan", termasuk gerakan mahasiswa dan LSM. Dimensi ketiga adalah media massa yang sangat vokal. Dimensi keempat adalah "pasar". Konstituensi "pasar" ini tidak semuanya ada di dalam negeri. Luar negeri (modal asing) pun memegang peranan. Pelaku pasar ini vote with their money. Dan dalam keadaan Indonesia sekarang, mereka bisa memengaruhi stabilitas sosial politik. Penulis bukanlah pelaku pasar, sehingga di sini hanya bisa mengimbau agar pemerintah tidak cuma menyadari, tapi juga peka terhadap interaksi antar-unsur demokrasi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini