Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Visi Utopis GBHN

24 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartono Mohamad Pengamat sosial, mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia SALAH satu tugas MPR adalah menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Demikian menurut amanat UUD 1945. Tapi, sebelum MPR bersidang, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa GBHN tidak perlu sehingga pemerintah diberi wewenang untuk berkreasi dalam membangun negara dan bangsa ini. Sebaliknya, ada juga yang menganggapnya perlu sehingga MPR tidak lagi memberikan cek kosong kepada presiden. Pada akhirnya disepakati untuk tetap menyusun GBHN, tapi dengan wanti-wanti jangan terlalu detail dan jangan terlalu tebal. GBHN yang baru disusun oleh MPR diawali dengan berbagai pertimbangan aktual yang mendorong perlunya disusun GBHN baru. Sesudah itu, disusun kalimat-kalimat tentang visi. Tanpa visi (wawasan), kita tidak tahu ke mana bangsa ini akan dibawa. Visi sebenarnya semacam impian (dream). Tapi, seperti kata Mahathir, "Vision is an achievable dream." Visi adalah impian yang dapat diwujudkan. Karena itu, visi tersebut sebaiknya dirancang untuk dapat direalisasikan dalam sekian tahun mendatang. Sebagai contoh, visi pembangunan Malaysia dirancang untuk dicapai pada tahun 2020—terkenal sebagai "Wawasan 2020". Malaysia bercita-cita pada 2020 nanti telah menjadi sebuah negara industri maju yang tidak terlalu menggantungkan diri pada bahan baku yang tidak mereka miliki. Maka, cita-cita mereka bukan menjadi negara industri baja, melainkan negara industri perangkat elektronik, komputer, dan telekomunikasi. Dengan wawasan seperti itu, langkah-langkah yang harus diambil oleh pemerintah Malaysia menjadi jelas, baik hukum, peraturan, sarana dan prasarana, maupun sumber daya manusianya. Visi yang tercantum dalam GBHN yang baru saja disusun MPR 1999 terlalu utopis, yaitu untuk membentuk manusia Indonesia yang demokratis, kreatif, dan seterusnya. Visi ini sangat utopis dan tidak spesifik untuk jangka waktu tertentu, sehingga kapan pun akan masih tetap berlaku. Kelemahannya adalah tidak jelas lagi kapan visi itu harus dicapai dan bagaimana mencapainya. Pencantuman visi yang sangat utopis ini membuat misi yang harus dikerjakan pemerintah dalam lima tahun mendatang menjadi tidak terarah secara spesifik. Ini akan mempersulit dalam mengevaluasi sejauh mana pemerintah telah melaksanakan misi untuk mencapai visi itu. Bandingkan pula dengan Singapura. Karena menyadari tidak memiliki sumber daya alam dan lahan, Singapura memilih menjadi negara penyedia jasa modern bagi tetangga-tetangganya pada tahun 2010. Maka, langkah-langkah yang diambil pemerintah Singapura adalah memacu pemudanya menguasai teknologi komputer dan komunikasi, di samping menyediakan jasa-jasa pelayanan lainnya. Seperti kata Lee Kuan Yew, semua aset dan kepandaian harus dapat dijadikan jasa yang bisa menghasilkan uang, termasuk pelayanan kedokteran. Indonesia seharusnya juga mempunyai visi yang jelas dalam GBHN-nya dengan menyadari segala aset unggulan yang dimiliki, yaitu lahan pertanian dan laut. Memang visi ini tidak harus segera dicapai dalam lima tahun yang akan datang, tapi setidaknya setiap tahun atau setiap lima tahun dapat dilaporkan apakah program-program yang dikerjakan sudah diarahkan ke sana. Pada masa-masa yang lalu, selalu kita menganggap sumber daya alam sebagai aset utama untuk meningkatkan ekonomi. Sumber daya manusia dianggap sebagai pelengkap. Akibatnya, sumber daya alam kita memang dapat dikuras, tapi oleh bangsa lain, bukan oleh bangsa sendiri. Bangsa Indonesia tetap menjadi kuli di negaranya sendiri. Karena itu, seharusnya visi yang tercantum dalam GBHN dapat dirumuskan secara lebih konkret, misalnya, "Dalam tahun 2030 Indonesia harus dapat menjadi negara industri modern yang berbasis pertanian dan kelautan." Semua ini adalah aset unggulan yang khas dimiliki Indonesia dan tidak dimiliki negara tetangga kita. Lalu, misi yang harus dilakukan tentu bertahap setiap lima tahun sekali, tapi semua itu menunjuk ke arah visi tersebut. Secara berangsur-angsur harus dikembangkan kemampuan nelayan Indonesia, sehingga ikan-ikan di laut Indonesia tidak hanya dinikmati oleh nelayan Jepang, Taiwan, Filipina, dan Thailand. Ikan-ikan dan segala harta yang ada di laut Indonesia dinikmati oleh nelayan dan bangsa Indonesia. Demikian pula halnya dalam aspek industri berbasis pertanian. Kebijakan yang diambil harus mengarah untuk memberdayakan petani Indonesia sehingga mereka mampu menjual produk pertaniannya ke negara lain dengan mutu dan harga yang bersaing. Dengan menekankan aspek kelautan, sekaligus kita akan menjadikan laut sebagai perekat pemersatu bangsa Indonesia, yang domisilinya tersebar di berbagai pulau. Di zaman penjajahan, laut dijadikan alat pemecah-belah. Maka, seharusnya Indonesia baru menjadikan laut sebagai alat pemersatu. Selama Orde Baru, aspek kelautan sebagai faktor pemersatu ini terbengkalai. Akibatnya, ancaman disintegrasi marak seperti sekarang ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus