Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kala Calon Kepala Daerah Jadi Tersangka

Belum lama ini, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan beberapa calon kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi.

29 Maret 2018 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kiri) dan Laode Muhammad Syarif memberikan keterangan kepada media di gedung KPK, Jakarta, 16 Maret 2018. Dalam keterangannya KPK menetapkan Calon Kepala Daerah Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus sebagai tersangka terkait dugaan korupsi dalam pembebasan lahan Bandara Bobong dan Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) nonaktif Abdul Latif dengan sangkaan menerima gratifikasi dan pencucian uang. ANTARA/Muhammad Adimaja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ikhsan Darmawan
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum lama ini, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan beberapa calon kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap berpegang pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang memungkinkan calon berstatus tersangka untuk tetap maju dalam pemilihan. Tapi ada yang menilai status tersangka itu akan mengganggu proses kampanye dan menggerus elektabilitas sang calon sehingga perlu regulasi soal penggantian calon ,karena undang-undang itu melarang calon mundur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KPU meminta pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah agar ada pasal yang mengatur masalah calon kepala daerah yang jadi tersangka (Koran Tempo, 26 Maret 2018). Tapi DPR menilai tak ada kegentingan yang memaksa untuk merevisinya. Istana pun mengatakan belum ada pembahasan mengenai peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Adapun KPU tetap berharap adanya revisi undang-undang dan tak ingin dipaksa membuat peraturan KPU tanpa dasar di undang-undang.

Saya sependapat dengan KPU. Mengapa perubahan undang-undang mengenai penggantian calon kepala daerah sebaiknya dilakukan? Saya berpandangan bahwa isi dan kualitas regulasi pemilihan kepala daerah yang tidak baik dapat berdampak buruk, tak hanya kepada pemilih, tetapi juga terhadap integritas pemilihan itu sendiri.

Dalam studi kepemilihanumuman, telah lama berlaku hipotesis yang menyebutkan bahwa aturan pemilihan umum memiliki efek atau dampak (electoral rule matters). Secara umum, riset-riset sebelumnya menitikberatkan dampak regulasi pemilihan umum pada pemilih (Bensel, 1979; Chin dan Taylor-Robinson, 2005; Sanz, 2015; Dassonville, 2017; Li, 2018). Tapi masih relatif sedikit peneliti yang menyinggung masalah yang ditimbulkan oleh aturan pencalonan. Salah satunya adalah artikel Langston, "Why Rules Matter: Changes in Candidate Selection in Mexico’s PRI, 1998-2000" (2001). Artikel itu pun lebih menyentuh dampak aturan penggantian kandidat terhadap kompetisi intra-partai daripada terhadap pemilih.

Regulasi yang berkualitas baik atau sebaliknya dapat berpengaruh terhadap pemilih, seperti membuat pemilih hadir atau tidak saat pemilihan berlangsung (Birch 2010). Begitu pula dampak regulasi terhadap integritas pemilihan. Pemilih wajib dijamin puas terhadap proses pemilihan yang berawal dari pengaturan pemilihan. Para pemilih yang yakin dan mendukung regulasi itu akan percaya bahwa pemilihan yang berjalan telah melindungi kepentingan mereka (Karp, Nai, dan Norris, 2017). Jika persepsi terhadap integritas elektoral rendah, dampaknya adalah penurunan tingkat legitimasi terhadap pemilihan (Norris 2014).

Urgensi revisi undang-undang ini adalah bahwa revisi itu akan melindungi pemilih. Jika klausulnya diubah, pemilih dapat terhindar dari daftar calon kepala daerah yang tidak layak dipilih. Pasal 78 Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah mengatur bahwa penggantian calon kepala daerah hanya dapat dilakukan jika calon tidak lolos tes kesehatan, meninggal dunia, atau dijatuhi pidana berkekuatan hukum tetap saja. Pasal ini seolah-olah tutup mata terhadap calon kepala daerah bermasalah, padahal hal itu dapat merugikan pemilih.

Para pemilih itu memiliki latar belakang yang beragam. Jika semua pemilih melek informasi dan rasional dalam memilih, seharusnya tidak ada calon kepala daerah tersangka yang terpilih dalam pemilihan sebelumnya. Faktanya, sampai 2013, ada sembilan calon yang menjadi tersangka yang kemudian menang dalam pemilihan dan akhirnya tetap dilantik. Karena itulah, banyaknya calon yang sekarang jadi tersangka korupsi itu harus dilihat sebagai kondisi yang gawat dan memaksa. Potensi dampak buruk aturan dalam undang-undang terhadap pemilih sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Birch.

Revisi undang-undang juga perlu dilakukan supaya tak mencederai integritas elektoral pemilihan kepala daerah serentak 2018. Bila pasal dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang tidak memungkinkan penggantian calon kepala daerah berstatus tersangka diteruskan, hal ini dapat menyebabkan persepsi pemilih terhadap integritas pemilihan menjadi rendah. Akibatnya, legitimasinya juga menjadi rendah.

Pada akhirnya, jika tak ingin mengorbankan para pemilih dan legitimasi terhadap pemilihan kepala daerah serentak 2018, alangkah baiknya Presiden Joko Widodo mendorong draf peraturan pemerintah pengganti undang-undang diajukan ke DPR. Meskipun tak mudah, melihat daruratnya situasi sekarang ini, ketidakmudahan itu boleh jadi berubah menjadi sebaliknya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus