Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Praktek bank gelap seperti pepatah lama: mati satu tumbuh seribu. Begitulah terus-menerus terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Meskipun sudah puluhan ribu orang terjerat dan triliunan rupiah menguap, masih ada saja yang tergiur pada praktek penggandaan uang lewat jalan pintas ini.
Kabar terakhir datang dari Bandung dan Semarang. PT InterBanking Bisnis Terencana (Ibist) melakukan bisnis dengan cara yang sama. Lebih dari 5.000 orang tertipu. Dana yang ditangguk perusahaan ini mencapai lebih dari Rp 224 miliar. Kini, pemiliknya, Wandi Sofian, kabur. Baru direktur keuangannya, Ferro Septa Yudha, yang dicokok polisi. Sebelum Ibist, ada PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR) dan PT Add Farm yang juga melakukan praktek serupa. Keduanya berhasil meraup dana rakyat Rp 1,1 triliun.
Mestinya kisah QSAR dan Add Farm jadi pelajaran bagi banyak orang agar tak tergiur bisnis model begini. Praktek semacam ini sebetulnya mudah dikenali. Imbal hasil yang ditawarkan sangat tinggi, jauh lebih tinggi dari bank biasa. Ibist, misalnya, menawarkan royalti 48 persen setahun. Itu artinya lima kali lipat bunga deposito atau suku bunga Sertifikat Bank Indonesia.
Iming-iming yang tinggi ditambah dengan pemanfaatan nama-nama besar, seperti dalam kasus QSAR, atau pejabat militer dan polisi, dalam kasus Ibist, membuat tawaran itu kian meyakinkan. Semua itu membutakan mereka yang ingin duitnya beranak-pinak dengan cepat. Padahal, semakin tinggi bunga atau imbal hasil yang ditawarkan, semakin tinggi pula risiko yang ditanggung pemilik uang.
Risiko yang tinggi, yaitu lenyapnya uang yang diinvestasikan oleh masyarakat, sudah terjadi berkali-kali. Semua perusahaan itu pada akhirnya bangkrut. Mereka tak sanggup lagi membayar bunga, apalagi mengembalikan pinjaman pokok, ketika nasabah semakin banyak. Yang terjadi setelah itu adalah sederet kisah sedih: pelaku kabur, nilai aset yang ditinggalkan tak berarti, dan para nasabah hanya bisa gigit jari.
Maka, selain berharap agar masyarakat jangan silau pada tingginya imbal hasil, perlu juga orang memeriksa izin operasi perusahaan semacam ini. Setiap badan usaha yang menghimpun dana masyarakat harus memiliki izin usaha dari Bank Indonesia, tidak cukup hanya dengan izin Departemen Perdagangan. Faktanya, hampir semua dari mereka hanya punya stempel dari Departemen Perdagangan. Mereka tidak lain dan tidak bukan adalah bank gelap.
Soal lain adalah track record. Jangan pernah percaya pada lembaga baru yang ujug-ujug menawarkan imbal hasil tinggi. Nasabah sebaiknya melacak lebih dulu kiprah dan kemampuan perusahaan itu di masa lalu. Jika rekam jejaknya di masa lampau gelap gulita, sebaiknya cari tempat investasi yang lebih jelas dan aman.
Polisi dan Bank Indonesia mestinya juga lebih awas melihat praktek seperti ini. Bukan rahasia lagi bahwa praktek seperti ini dilakukan secara terbuka. Bukan hal sulit menemukan kantor QSAR, AddFarm, atau Ibist, dan melihat orang ramai-ramai menanam uang di sana.
Sayangnya, meski sudah terjadi berkali-kali, polisi acap terlambat menangani kasus-kasus seperti ini. Akibatnya, selain pelaku sering kali sudah kabur, uang masyarakat yang hilang sudah telanjur besar jumlahnya. Tindakan preventif perlu dilakukan. Pemilik uang harus lebih pandai memilih lahan investasi. Polisi dan Bank Indonesia mesti mampu mengendus praktek bank gelap sebelum menjadi besar dan melahap uang rakyat dalam jumlah besar pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo