Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hidup adalah riwayat keputusan-keputusan. Juga ketika memutuskan untuk tak memutuskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak bangun tidur, kita harus memilih: langsung bangkit atau tetap terbaring mengenang mimpi. Tapi tak cuma itu. Terkadang kita dalam “situasi-di-tapal-batas”, untuk meminjam kata-kata seorang filosof, ketika misalnya kita harus memilih menjalani operasi kanker atau memakai pengobatan lain; menutup sebuah kota yang diancam wabah atau tak menutupnya jika kelaparan mematikan orang miskin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita terbelah. Bahasa Indonesia sangat plastis dengan kata ke-putus-an. Kata “putus” itu traumatis. Yang sudah di-putus-kan tak mungkin kembali seperti semula. Menjelang itu, kita dilemparkan ke dalam situasi simalakama. Kita-yang bukan mesin, bukan wayang-berada dalam kemerdekaan yang juga kebingungan.
A moment of decision is madness.
Kalimat itu terjemahan Inggris dari tulisan Kierkegaard, filosof Denmark yang dengan intens memproyeksikan manusia sebagai makhluk yang genting. Ia-eksistensialis pertama dalam pemikiran Kristen-menolak manusia dilihat dalam abstraksi. Terutama ketika dalam krisis, dan ia jadi “man-of-the-moment”, saat diuji, saat dihina dan dicambuki, saat memilih bersabar, seperti Yesus dalam Surat Isaiah.
Momen itu, Øjeblikket, menentukan.
Tapi mungkin tauladan yang lebih menyentuh mereka yang tak beriman adalah Hamlet, tokoh rekaan Shakespeare.
Hamlet, pangeran Kerajaan Denmark dalam lakon termasyhur ini, pulang ke Istana Elsinore dari kota tempat ia kuliah. Wajahnya mendung. Ia berkabung untuk ayahnya yang wafat, tapi juga (dan ini yang membuatnya masygul) untuk menghadiri pernikahan ibunya. Hanya sebulan setelah jadi janda, ibu kandungnya menikah dengan adik almarhum suaminya yang segera dinobatkan jadi raja.
“Ada yang membusuk di Denmark,” seorang penjaga Istana mendesis, ketika pada suatu tengah malam Hamlet ditemui hantu raja yang wafat.
Dari hantu ayahnya inilah, dalam remang-remang Elsinore, Hamlet mendengar bahwa raja yang baru, bersama ibu Hamlet, berkomplot. Mereka racuni Baginda. Menemui Hamlet, hantu Baginda menyuruhnya membalas dendam. “Revenge his foul and most unnatural murder!”
Hamlet gugup. Bukankah balas dendam dan pembunuhan, menurut ajaran Kristen, sebuah dosa? Pangeran muda itu cerdas tapi tak tangkas bertindak. Dan dalam suasana Istana waktu itu, ia sendirian. Tak ada orang lain yang merasakan apa yang ia rasakan: sedih dan dicurigai. Ia bimbang.
Di sebuah ruang tua Elsinore, ia berbisik sendiri-dan inilah adegan soliloquy yang termasyhur dalam Hamlet: “To be or not to be, that’s the question....” Kalimat itu kata-kata seseorang yang harus menentukan pilihan hidup atau mati.
Ketika Rendra mementaskan Hamlet sekitar 40 tahun yang lalu, ia menerjemahkan kata-kata itu dengan, “Mengada atau tak mengada, itulah persoalannya....” Saya kira ia keliru.
Kata “mengada” adalah istilah teknis filsafat, terjemahan “to be”. Tapi dalam kebimbangan yang akut, Hamlet tak sedang berfilsafat. Ia tidak sedang membentuk sebuah discourse. Shakespeare menyusun kalimat-kalimat soliloquy Hamlet dengan nada cemas, bingung, tak selamanya urut.
“Manakah yang lebih mulia, menanggungkan pukulan dan tikaman nasib jahat atau memerangi gelombang kesulitan dan dengan demikian mengakhirinya?” Tak ada jawab. Tiba-tiba kalimat berubah nada: “Mati, tidur-tak lagi-.”
Hamlet sedang menimbang, mungkin mengakhiri hidup cara terbaik mengakhiri kepedihan, bila mati hanya ibarat tidur. Tapi tidur mungkin bermimpi, dan mimpi juga ketakpastian, seperti halnya akhirat, “negeri yang belum ditemukan dari mana tak ada pejalan yang kembali”.
Mungkin itu sebabnya manusia lebih memilih hidup dengan segala mala dan kepedihannya.
Kerisauan Hamlet akut, karena ia sadar, apa pun keputusan yang akan diambilnya, dalam kesendirian di ruang itu ia hidup dalam percakapan dengan sesama.
Dalam teater Shakespeare, soliloquy punya dua peran: (1) memberi tahu penonton apa yang ada dalam pikiran dan hati seorang tokoh, dan (2) menyadarkan kita bahwa bahkan dalam kesendiriannya tak ada manusia yang terpisah. Hamlet merasa perlu menjelaskan dilemanya kepada sebuah sidang yang tak hadir: manusia lain, di mana saja, kapan saja. Keputusan yang hanya tergantung satu saat, satu tempat, dan satu pihak akan rapuh bahkan bagi diri sendiri.
Maka ia tak hanya berbicara tentang dilemanya sendiri.Dalam soliloquy-nya Hamlet menyebut “we”. Rasa takut kepada kehidupan setelah mati membuat “kita lebih memilih menanggungkan segala yang buruk dalam hidup kita”, makes us rather bear those ills we have.
Berbeda dengan wacana Kierkegaard, Hamlet bukan pesan yang religius. Tokohnya berbagi kebingungan dengan orang lain bukan untuk mengaku dosa. Ia tak risau dengan nilai-nilai yang diajarkan agama untuk menghakimi. Kalaupun ada, nilai-nilai itu bukan dasar yang kokoh. Mereka dirumuskan manusia yang fana dan serba mungkin, dengan nama Tuhan.
Dengan kata lain we hanya berarti karena dalam setengah buta (atau setengah kafir) kita sama-sama berangkat mencari pembenaran. Tak ada SOP. Pengalaman tak bisa dipakai, karena momen ini bukan ulangan masa lalu. The moment of decision is madness. Ada krisis, waswas, dan tak ada Aku-yang-Tahu apa yang akan terjadi. Yang ada hanyalah keberanian dalam ketidakpastian dan kerendahan hati.
Hamlet: saya tak meremehkan keraguannya.
Goenawan Mohamad