Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENDE, Flores. Beberapa meter dari pohon sukun yang rindang itu ada sebuah patung. Yang hendak dihadirkan di atas pedestal itu sosok Bung Karno, yang pada 1933 dibuang ke kota ini.
Tak impresif. Warnanya yang menguning karena iklim menambah kesan letih ke seluruh permukaannya. Tubuh itu kurus, memanjang ke langit, yang mungkin bisa ditafsirkan sebagai gambaran Bung Karno yang menderita tapi bercita-cita.
Foto-foto yang tersimpan di Museum Bung Karno di kota itu memang memperlihatkan seorang laki-laki yang ramping. Tapi patung itu tampaknya tak ingin menggambarkan sang pemimpin yang kurang gizi di pengasingan: bajunya yang khas, bersaku empat, dengan dasi, adalah baju ketika Bung Karno sudah jadi presiden. Dan saya lihat di sana Bung Karno memegang tongkat komando yang berujung kepala burung garuda—meskipun hewan itu lebih mirip ayam jago yang lemas….
Saya duga sang pematung bukanlah seorang seniman yang menguasai teknik—jika hal ini bisa disimpulkan dari ketidakmiripan patung itu dengan tokoh yang dipatungkan. Wajah Bung Karno itu bermata besar, berhidung runcing, dan tatapannya seperti gamang melihat dunia.
Tapi haruskah sebuah patung mirip dengan wajah orang yang dipatungkan? Tidakkah sang pematung punya hak interpretasi? Giacometti mungkin akan selamanya menampilkan sosok yang seperti stalagmit kerempeng di gua-gua, meskipun seandainya ia hendak mematungkan Sylvester Stallone. Botero akan selamanya membuat tubuh jadi gemuk montok, meskipun seandainya ia hendak menghadirkan Gwyneth Paltrow.
Monumen selamanya sehimpun tafsir. Patung Bung Karno dan Bung Hatta di Taman Proklamasi yang diciptakan G. Sidharta tidak persis seperti foto yang kita kenal tentang kedua proklamator itu. Patung karya Sunaryo ke arah Bandara Soekarno-Hatta juga akhirnya hanya simbolisasi tentang sang ”dwi-tunggal”. Manakah yang ”benar”: patung Sudirman di Jalan Sudirman, Jakarta—tongkrongan yang gagah perkasa itu—atau patung Sudirman di Jalan Malioboro, Yogya: tubuh dan wajah yang prihatin dan sedikit lapar?
Monumen memang bukan untuk mengkopi dunia. Mungkin tak ada yang ditirukan; yang ada hanya yang dijelmakan kembali dari kesan, atau perasaan, tentang sesuatu.
Sebab tiap monumen mengandung politik ingatan. Tiap monumen merupakan hasil pergulatan antara yang dikehendaki kekuasaan di belakang pembuatan monumen itu dan ingatan kolektif: tiap monumen disertai niat membentuk apa yang diingat orang ramai.
Wajah Gajah Mada yang tembam—yang kita kenal dari buku sejarah, lambang Polisi Militer dan patung di Markas Besar Kepolisian Negara—mungkin bukan diambil dari dokumen tentang tokoh politik Majapahit itu. Tak banyak catatan tentang sang mahapatih. Ada lelucon bahwa wajah itu ditentukan oleh Muhamad Yamin—tokoh politik yang suka menulis tentang sejarah itu—semata-mata karena ia menemukan sebuah topeng di makam tua yang mirip dengan wajahnya sendiri. Tapi Yamin, dengan posisinya sebagai ideolog nasionalisme Indonesia, bisa merebut untuk dirinya otoritas di bidang sejarah. Ia pun berhasil membuat kesimpulannya jadi sebuah ikon.
Tapi saya tetap merasa, patung Bung Karno di dekat pohon sukun di Ende itu tak cocok. Mungkin masalahnya bukan mirip atau tak mirip. Mungkin masalahnya monumen itu gagal dalam meyakinkan bahwa ia mewakili sebuah tafsir tentang Bung Karno.
Monumen adalah bagian dari seni publik—dan jarak antara seni publik dan propaganda sangat dekat. Tiap propaganda punya dua kekuatan: kekuatan dari luar dirinya untuk membujuk, dan kekuatan dari dalam dirinya untuk mencapai kemampuan teknik yang menyebabkan orang ramai terbujuk dan yakin.
Itulah sebabnya karya-karya propaganda yang kita lihat pada zaman Stalin di Uni Soviet dan zaman Hitler di Jerman dibuat dengan teknik yang piawai. Kita lihat contohnya pada patung Petani Berbedil di Jakarta yang dibuat seorang seniman ”realisme sosialis” Rusia. Yang hendak digambarkan adalah ide perang gerilya Indonesia sebagai perang kaum petani—dan sebab itu sosok itu bercaping dan tak berbaju. Kita tahu itu bukan citra umum kita tentang para pejuang perang kemerdekaan. Tapi patung itu dibuat dengan teknik tinggi. Kita tahu penyimpangan (atau ”dusta”?) selalu perlu tutup yang gemilang.
Patung Bung Karno di Ende: ia tak punya teknik yang tinggi, tutup yang gemilang. Sengaja atau tidak, sang pematung justru menunjukkan ia ingin mengagumi Bung Karno dan membuat Bung Karno mengagumkan—tapi ia tak sanggup.
Tapi begitukah memang niatnya? Jangan-jangan faktor lain berpengaruh. Monumen resmi memerlukan persetujuan pejabat resmi. Sang pejabat tak peduli apakah yang ditampilkan di sana bagus atau tidak menurut para kritikus patung. Baginya yang penting adalah proyek itu berdiri, dengan anggaran tertentu—yang mungkin diselewengkan.
Dengan kata lain: monumen tak hanya dibangun melalui politik ingatan, tapi juga politik pengabaian. Kekuasaan yang ada di belakang pembuatan sebuah monumen berhasil mengabaikan hal-hal ”estetik”—bahkan juga tujuan membangun monumen itu. Kita pun tak peduli untuk apa patung kereta perang Arjuna dan Kresna dibangun di dekat Monumen Nasional di Jakarta. Kita hanya melihatnya.
Artinya tiap monumen—juga patung Bung Karno di Ende itu—punya cerita panjang, lebih ketimbang sepotong wajah.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo