Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGKAH yang diambil PT Bank Rakyat Indonesia dan Yayasan Dana Pensiun BRI menggugat PT Mulia Persada Pacific ke pengadilan sudah tepat. Cara ini perlu ditempuh mengingat perkaranya sudah berlarut-larut, dan tak terlihat iktikad baik Mulia menyelesaikannya. Jika masalah itu terus dibiarkan, yang dirugikan bukan hanya Dana Pensiun, melainkan juga pemerintah, karena menyangkut aset negara.
BRI menggugat Mulia karena ingkar janji dalam pembangunan gedung BRI di kawasan segitiga emas, Jakarta Pusat. Ditandatangani pada 1990, Mulia diwajibkan membangun dua gedung, BRI II dan BRI III, dengan batas waktu pembangunan 1995. Perjanjian dalam bentuk build, operate, and transfer (BOT) itu berlaku tiga puluh tahun. BRI berharap, jika gedung berlantai 27 itu berdiri dan dikomersialkan, keuntungannya bisa meningkatkan kesejahteraan karyawan berikut sekitar 5.000 pensiunan bank tersebut.
Bank pelat merah ini ternyata dikadali Joko S. Tjandra, pemilik Mulia yang juga penanda tangan perjanjian. Joko, ”raja properti” yang kini buron karena kasus cessie Bank Bali, membangun BRI II, tapi tidak melengkapinya dengan fasilitas yang disepakati. Ruang pengurus Dana Pensiun dan tempat parkir di pucuk BRI II tidak dibangun. Adapun BRI III hingga saat ini masih di awang-awang. Akibat wanprestasi ini, dalam hitung-hitungan BRI, mereka rugi lebih dari Rp 1 triliun. Hitungannya, antara lain, dari harga sewa tanah dan nilai gedung BRI III andai maujud dan jadi milik BRI.
Joko selama ini dikenal dekat dengan penguasa. Kedekatan itu, boleh jadi, membuat ia tahu bakal divonis dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung, pada Juni 2009. Dua hari sebelum vonis dijatuhkan, Joko kabur ke luar negeri. Kongkalikong rupanya terjadi pula dalam sengkarut BRI. Polisi, pada 2007, atas pengaduan Mulia Persada, dengan sigap menjadikan sejumlah pengurus Dana Pensiun sebagai tersangka karena membuat pagar pemisah area BRI dan gedung Gabungan Koperasi Batik Indonesia, gedung yang juga dikelola Mulia. Perkara ini ganjil, karena pagar itu dibuat di area BRI.
Barulah ketika Kepolisian dipimpin Jenderal Sutanto, kemudian Jenderal Bambang Hendarso Danuri, lembaga penegak hukum itu tak lagi condong ke Joko. Direksi BRI, misalnya, bisa bertemu dengan Kepala Kepolisian dan mengadukan nasib mereka--sesuatu yang sebelumnya sulit dilakukan. Bambang Hendarso kemudian memerintahkan pencabutan status tersangka pada sejumlah pengurus Dana Pensiun.
Kita berharap langkah Kepala Kepolisian tak berhenti di situ. Kapolri mesti mengusut siapa saja anak buahnya yang ”direkrut” Joko dan dijadikan kaki-tangan dalam perkara ini. Penetapan status tersangka tanpa kesalahan merupakan kejahatan besar. Tindakan itu merupakan pengkhianatan tugas polisi yang selalu menyebut diri ”pengayom masyarakat”. Jenderal Bambang harus menjatuhkan sanksi keras terhadap jajarannya yang terlibat skandal hukum ini.
Dengan rekam jejak Joko selama ini, kita berharap Kejaksaan, sebagai pengacara negara yang mewakili BRI, benar-benar serius menangani kasus ini. Ingkar janji yang dilakukan Joko terang-benderang. Para hakim yang mengadili gugatan bernilai lebih dari satu triliun rupiah ini pun tak boleh melencengkan kebenaran. Jika itu terjadi, Joko, dari tempat pelariannya, untuk kesekian kalinya akan terbahak-bahak melihat hukum yang bisa dibengkak-bengkokkan di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo