Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENAM presiden negeri ini ternyata punya ”hobi” mirip. Mereka gemar membentuk lembaga khusus di luar kabinet, seperti dewan, komite, atau satuan tugas. Presiden Soekarno membentuk Dewan Ekonomi dan Pembangunan untuk membantu kerja kabinet. Saat sang Proklamator berkuasa, dewan bentukan pemerintah juga tumbuh subur, seperti Dewan Tekstil dan Dewan Kerajinan.
Presiden Soeharto tak mau ketinggalan. Pemimpin Orde Baru ini membentuk Komite Empat yang memberikan pendapat atas pemberantasan korupsi. Penasihat ekonomi juga bertaburan di zaman jenderal besar itu. Pembentukan lembaga di luar kabinet juga terjadi di masa Presiden B.J. Habibie. Cara ini kembali diulang oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Gus Dur membentuk Dewan Ekonomi Nasional, yang diketuai Emil Salim.
Presiden Yudhoyono ikut-ikutan latah. Dua pekan lalu, dia membentuk Komite Ekonomi Nasional—selain Komite Inovasi Nasional. Institusi baru itu menambah panjang daftar lembaga di luar kabinet. Sekarang sudah ada 41 komisi negara yang menjadi cabang kekuasaan eksekutif. Itu belum termasuk 14 komisi negara independen—bukan kepanjangan tangan kekuasaan. Komite beranggotakan 24 pengusaha, chief executive officer, akademisi, dan ekonom ini diharapkan bisa merekomendasi ihwal delapan persoalan ekonomi.
Programnya terbilang ambisius. Dalam waktu enam bulan, komite ini harus bisa menelaah pembuatan bujet negara yang kredibel, menyambungkan aktivitas ekonomi antarpulau dan antarprovinsi, serta memperkuat rantai logistik. Komite ini juga dituntut bisa merumuskan cara mengentaskan masyarakat miskin, mengurangi penganggur, memperkuat ketahanan pangan dan energi, serta mengembangkan pembiayaan dalam negeri, termasuk mengurangi utang.
Di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, komisi negara juga lazim. Lembaga itu dibentuk untuk mendorong transparansi dan pemerintahan yang bersih, memperkuat penerapan hak asasi manusia, atau memberikan masukan tentang kebijakan perekonomian. Tapi lembaga di luar kabinet itu bukan instrumen berbagi kekuasaan atau bukan sekadar latah menyumbang aspirasi pemikiran.
Kesan bagi-bagi kekuasaan dan balas budi inilah yang terasa dalam pembentukan Komite Ekonomi Nasional. Beberapa anggotanya merupakan orang lingkaran Yudhoyono-Boediono saat pemilihan presiden 2009. Bahkan beberapa nama sempat mencuat menjadi kandidat menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, meski akhirnya tak terpilih.
Pembentukan komite ini sebenarnya tak ada urgensinya. Fungsi memberikan rekomendasi atas persoalan perekonomian bisa dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Presiden di bidang ekonomi. Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto juga bisa berperan lebih besar.
Ketimbang membentuk lembaga ad hoc baru, Presiden Yudhoyono seharusnya mengoptimalkan kinerja kabinetnya, terutama yang berada di bawah naungan Kantor Menteri Koordinator Perekonomian. Rekomendasi atas sebuah kebijakan bisa diperoleh dari para ekonom, pengusaha, dan akademisi, seperti yang biasa mereka lakukan melalui kementerian bidang ekonomi.
Pembentukan komite ini tidak hanya akan membebani anggaran negara, tapi juga membuat struktur ketatanegaraan jadi tak efisien. Pemerintahan menjadi tambun lantaran dipenuhi lemak lembaga di luar kabinet. Juga, sejarah mencatat, komisi negara tak efektif karena tak punya wewenang kuat menerobos birokrasi. Kini kita tunggu apakah komite ini bisa eksis atau sebaliknya, bernasib sama seperti lembaga sejenis di era lima presiden sebelumnya: bubar jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo