Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNDANG-UNDANG tentang pemilihan umum jelas menyebutkan anggota Komisi Pemilihan Umum harus netral. Sikap tak memihak itu dinyatakan dengan tidak dibolehkannya anggota KPU memasuki partai politik. Bahkan, sejak melamar jadi calon anggota Komisi, seseorang sudah terkena persyaratan tidak menjadi anggota partai politik dalam lima tahun terakhir.
Sangat jelas—ini sangat penting—disebutkan dalam undang-undang itu: anggota KPU tak boleh mengundurkan diri dengan alasan apa pun kecuali sakit. Tentu saja terbuka peluang lain untuk mengundurkan diri jika meninggal—bahkan dalam kasus ini tak perlu surat pengunduran diri.
Secara formal, begitu undang-undang diberlakukan, semua orang dianggap sudah tahu. Kalau demikian halnya, kita tak habis pikir ketika elite Partai Demokrat—apakah itu Anas Urbaningrum atau yang lainnya—tiba-tiba meminang Andi Nurpati yang masih aktif sebagai anggota KPU menjadi pengurus pusat Partai Demokrat. Jelas Partai Demokrat telah melecehkan undang-undang karena menarik seseorang yang netral menjadi tidak netral—seolah negeri ini kekurangan perempuan sebagai kader.
Dengan entengnya elite Demokrat meminta Andi Nurpati mengundurkan diri sebagai anggota KPU jika menerima tawaran partai. Belakangan, suara yang meminta Andi Nurpati mundur datang dari anggota Dewan dan mereka yang menyebut diri pengamat. Bahkan Andi Nurpati sendiri sudah membuat surat pengunduran diri. Dari mana logika berpikir ini mendapat pijakan? Undang-undang menyebut alasan pengunduran diri hanya sakit. Apakah pengurus partai merupakan tempat berkumpulnya orang sakit?
Memang, Nurpati tak boleh dilarang menjadi politikus atau menjadi apa pun, hak asasi yang dimiliki seseorang—alasan yang kini banyak dipakai sebagai pembenaran. Betul, hak ini boleh saja diambil. Hanya, ketika hak itu sudah diambil dan Nurpati resmi menjadi pengurus partai, KPU—dengan membentuk Dewan Kehormatan ataupun tidak—harus langsung memecat Nurpati sebagai anggota Komisi. Kata lainnya, memberhentikan dengan tidak hormat, karena tak lagi netral. Titik.
Sayangnya, seperti diakui anggota KPU yang lain, I Gusti Putu Artha, undang-undang ini tidak memberikan sanksi apa pun untuk kasus seperti Andi Nurpati. Putu Artha, yang mengaku tak nyaman dengan suasana ini, mengusulkan undang-undang diperbaiki dengan memberikan sanksi jelas, entah itu pidana atau mengembalikan semua pendapatan dan fasilitas yang sudah dinikmati selama menjabat. Sebuah usul yang bagus karena kenetralan anggota KPU harus tetap terjaga selama bertugas dan mereka tak mudah dipinang semasih menjabat.
Sekali lagi, memang terasa aneh, sebuah partai yang memberikan harapan pada perbaikan demokrasi ternyata melecehkan undang-undang. Dan bagi Andi Nurpati, dengan terjun sebagai politikus, ia sudah berbekal cacat dan terkesan menggampangkan persoalan. Jika ia kelak diberhentikan dengan tidak hormat dari sebuah jabatan publik, itu bisa menjadi beban bagi orang yang memang menjunjung tinggi etika dan moral. Masalah ini juga akan menyulitkan Partai Demokrat untuk membantah tuduhan bahwa Andi Nurpati dipinang karena sudah berjasa kepada partai. Sebuah tuduhan yang mulai dipercayai masyarakat, dan membuat anggota KPU lainnya betul-betul tak nyaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo