TEROR itu bernama Tomas de Torquemada. 2000 orang telah mati
dibakar atas titahnya. Mereka dituduh melakukan bid'ah, ketika
di Spanyol abad ke-15 itu gereia menghendaki ajaran yang "murni"
dan baginda menginginkan rakyat yang takluk.
Itulah sebabnya ia, Tomas de Torquemada, seorang paderi
Dominikan, ditunjuk Raja menjadi Inquisitor Agung yang pertama
-- dan agaknya yang paling kejam. Dialah yang harus mengusut
(inquiro) ke dalam batin orang: adakah orang itu seorang Nasrani
tulen, ataukah dia punya kesetiaan yang bercabang.
Di zaman itu kaum marranos dan kaum moriscos, Yahudi yang masuk
Katolik dan Muslimin yang telah dibaptis, tak putus dicurigai.
Begitu pula orang yang berfikiran tak cocok dengan garis resmi,
meski ia seorang pendeta sekalipun. Ignatius de Loyola, sang
pendiri gerakan Jesuit, pernah dua kali ditahan. Pastur
Dominikan Bartolome de Carranza bahkan dipenjarakan selama 17
tahun. Dalam salah satu episode Karamazov Bersaudara dari
Dostoyewski, bahkan Kristus yang datang kembali di Spanyol,
akhirnya ditahan sang Pengusut Agung. Ia disuruh pergi: manusia
tak hendak ditolong, kata Inquisitor Besar, karena mereka tak
semulia seperti Kau sangka.
Barangkali itulah dasar setiap kekuasaan yang mencoba mengawasi
dan mengusut kita terus-menerus: kepercayaan bahwa manusia lemah
dan cepat menjadi busuk, bahwa orang dilahirkan bagus tapi itu
hanya ilusi.
Dan itu tak cuma berlaku untuk gereja Katolik di Spanyol. Di
tahun 1598 umat Yahudi yang terusir oleh inquisisi di Spanyol
itu mendirikan sinagoge mereka yang pertama di Amsterdam.
Seperti dulu mereka hidup leluasa di bawah kekuasaan Islam di
sekitar Granada, kini di tanah rendah itu juga mereka menikmati
kemerdekaan beragama di lingkungan orang Nasrani. Bukankah
pelukis Rembrand melukis para rabbi mereka dalam penampilan yang
agung, antara cahaya keemasan dan bayang-bayang?
Namun ada seorang pemuda Yahudi, Uriel a Costa namanya. Ia
menghirup kecerahan berfikir zaman itu, dan ia mulai gemar
bertanya. Usianya yang muda membawanya semangat nekad, dan
kepalanya membawanya ke keraguan serta keangkuhan. Pada suatu
hari Uriel menggasak doktrin orang orang tua yang begitu salih
dan tenteram. Dan Sinagoge pun bertindak.
Artinya, Uriel harus mencabut pernyataannya secara publik.
Artinya, anak muda itu harus membaringkan diri di ambang pintu
sinagoge, sementara para jemaah kongregasi berjalan melintasi
tubuhnya. Uriel tak tahan menanggungkan penghinaan ini. Ia
pulang. Ia menuliskan kutukan yang berapi-api atas hukuman yang
diterimanya. Di ujung kalimat akhir, Uriel a Costa menembak
dirinya sendiri.
**
URIEL a Costa mati, tapi pengalaman tentang ini menyebabkan di
tahun 1656 seorang pemuda berumul 24 tahun juga dipanggil ke
sinagoge Amsterdam. Orang-orang tua menanyainya benarkah ia
telah melakukan bid'ah, berbicara misalnya bahwa malaikat cuma
hasil halusinasi?
Anak muda itu nampaknya tak membantah bahwa ia punya
pendapat-pendapat sendiri. Itu sudah cukup mencemaskan para
orang tua. Ia ditawari sejumlah uang, dengan harapan ia
setidak-tidaknya tak akan nampak membandel. Tapi pemuda itu
menolak.
Maka upacara pengusiran pun dijalankanlah: Terompet berbunyi
dari saat ke saat, cahaya padam satu demi satu, dan akhirnya
sidang sinagoge jadi gelap. "Semoga Tuhan tak mengampuninya,"
begitulah hari itu kutuk dibacakan. Tapi beberapa belas tahun
kemudian, si pemuda, Spinoza, tokoh filsafat termashur itu,
berkata: "Saya tak tahu dalam batas-batas apa kemerdekaan
berfilsafat harus dikendalikan .... "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini