Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Korupsi, Kok Naik, Naik, Naik Terus

Masalah korupsi sekarang bisa terungkap karena sudah ada kepatuhan terhadap hukum dan berlakunya uu anti korupsi. (nas)

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK ada poster. Tidak ada selebaran. Tidak pula ada pemuda turun di jalanan. Tapi masalah korupsi tiba-tiba kembali menarik perhatian lagi. Keterangan Jaksa Agung Muda Bidang Operasi Sadili Sastrawijaya di depan Komisi III DPR pertengahan Pebruari lalu membangkitkan minat ini. Menurut Sadili, kasus kompsi yang terjadi dan merugikan keuangan negara pada 1978 sebesar Rp 29,8 milyar dibanding Rp 4,02 milyar pada 1977. Sedang yang berhasil diselamatkan pada 1978 Rp 954,7 juta dibanding Rp 140 juta pada 1977. Mengapa korupsi yang terungkap melejit naik begitu luar biasa? "Itu tandanya aparatur kita telah bekerja lebih baik hingga yang selama ini tidak terunglcap sekarang bisa terungkap," kata Sadili pada TEMPO, Betulkah itu? Dan di bidang mana kebocoran itu terjadi? "Logis kalau korupsi itu juga bersumber dari kebocoran anggaran pembangunan 1978/1979," kata Sabam Sirait Wakil Ketua Fraksi PDI di DPR. Mnurut Sabam "berdasar sumber yang amat dapat dipercaya," kebocoran anggaran pembangunan pada 1978/1979 yang sebesar Rp 2.454.747 milyar mencapai 30%. Persentase ini belum termasuk kebocoran anggaran rutin 1978/1979 di sektor belanja barang dan perjalanan . Hamzah Haz dari Fraksi Persatuan Pembangunan berpendapat, korupsi yang Rp 29 milyar itu "tidak mengagetkan". Alasannya, kebocoran 30% dari anggaran pembangunan 1978/1979 berarti lebih dari Rp 600 milyar, hingga "lebih mengerikan". Korupsi 29 milyar berarti hanya 5% dari seluruh kebocoran anggaran pembangunan 1978/1979. Tidak jelas dari mana angka 30% itu diperoleh. Tapi pada 1973, Dr. A.M. Kadarman, yang waktu itu Direktur Lembaga Pendidikan & Pembinaan Managemen (LPPM) mengatakan, angka 30 % itu menurut taksiran ahli-ahli asing yang pernah bekerja di Indonesia. Mungkin banyak yang meragukan suara ahli asing ini. Tapi Prof. Soemardjo Tjitrosidojo, staf ahli Badan Pemeriksa Keuangan, dalam suatu ceramahnya tahun lalu, menyebutkan angka yang tidak jauh berbeda. Menurut Semardjo berapa persisnya pemborosan dan kebocoran itu belum dapat dikatakan dengan tegas karena belum pernah dilakukan telaahan yang mendalam dan obyektif. Tapi ditaksir berkisar antara 20% sampai 40%. Berarti kalau digunakan angka taksiran yang paling hati-hati, yaitu 20%, kebocoran dan pemborosan untuk tahun anggaran 1978/1979 adalah sekitar Rp 960 milyar. "Jika angka itu benar, jumlah itu dapat dibuat gedung berjajar Malang-Surabaya menjadi penuh," kata Soemardjo dalam ceramahnya di Malang itu. BETULKAH pemborosan dan kebocoran di republik ini telah mencapai tingkat malapetaka seperti itu? Bekas Ketua Kamisi IV Wilopo menyatakan terkejut pada angka 30% itu. "Itu yang ketahuan, yang tidak berapa? " Meskipun Komisi IV tidak menyebutkan angka persentase, tapi menduga kebocoran yang terjadi hahkan lebih dari 30%. Tapi apa komentar Menteri PAN Dr Sumarlin? "Itu keliru! Angka 30% itu tidak ada dasarnya," katanya. Dijelaskannya sampai sekarang sukar untuk menentukan besarnya kebocoran pembangunan. Diakuinya kebocoran memang ada, tapi berapa persentasenya sulit diketahui. Kebocoran yang terjadi umumnya pada proyek pembangunan, sedang tiap proyek mempunyai ciri sendiri. Pemborosan misalnya, bisa terjadi karena keterlambatan penyelesaian proyek karena perencanaan yang kurang matang, pelaksanaannya yang kurang mampu, atau kurangnya sinkronisasi dari para pelaksananya. Pertanyaan awam adalah bagaimana mungkin semua itu terjadi? Bukankah telah ada begitu banyak badan pengawasan yang bertugas? Selain Polri dan Kejaksaan Agung, ada Badan Pengawas Keuangan (BPK), Ditjen Pengawasan Keuangan Negara, Inspektur Jenderal Pembangunan (Irjenbang), sedang di tingkat departemen ada Inspektur Jenderal serta Inspektur Wilayah Daerah. Semua itu di samping pengawasan operasionil pelaksanaan tugas yang dilakukan para Sekjen, Dirjen dan pimpinan lembaga lainnya. Lalu sejak Juni 1977 ada Opstib yang juga bergerak di daerah. Mungkin itu yang menyebabkan banyak yang masih meragukan adanya kemauan politik pemerintah untuk memberantas semua pemborosan dan kebocoran tadi. Walau, sejak Kabinet Pembangunan III ini Wakil Presiden Adam Malik ditugaskan memimpin bidang Pengawasan, di samping adanya Emil Salim sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. "Apalagi yang menangani terlalu banyak tapi terlalu sedikit kemauan politiknya," kata Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan Sarwono Kusumaatmaja. Akibatnya korupsi tetap berjalan karena, "aparat pengawasan sekedar ada untuk memenuhi formalitas dan kurang berfungsi secara efektif." Sedang Sabam melihat belum adanya mekanisme yang jela antara berbagai badan pengawas ini. Ia melihat perlunya diefektifkan lembaga pengawas yang berada di bawah koordinasi Wapres untuk mencegah kebocoran ini. "Apalagi jaringan pencuri anggaran pembangunan semakin luas dan lihai," tambahnya. Korupsi memang telah lama menghantui republik ini. Munculnya pemerintahan Orde Baru telah memperbaharui harapan masyarakat agar masalah ini secara tuntas bisa dibereskan. Presiden Soeharto berpendapat akar dan sumber korupsi ini adalah serba ketidaktertiban yang telah lama berjalan. Hingga pemerintah memilih jalan penertiban di berbagai bidang yang sebagai proses sosial memerlukan waktu lama. Hendak diiptakan suatu sistim pengawasan yang berjalan sendiri di mana masyarakat bisa ikut serta. Sedang masyarakat agak kurang sabar menunggu. Apalagi setelah tumbuh anggapan adanya hal-hal yang didiamkan hingga timbul kecurigaan di kalangan masyarakat bahwa ada semacam "permainan" tidak terelakkan Belbagai jalan ditempuh pemerintah untuk membereskan masalah korupsi ini, termasuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Pembentukan komisi IV, Presiden "buka praktek" sampai pembentukan Opstib di pertengahan 1977. Bagaimana hasilnya? "Sekarang tim pengawasan yang tertib sudah berjalan," kata Sumarlin Sejak Oktober 1977 tiap bulan, bersama Pangkopkamtib Sudomo ia mengumpulkan para Irjen dalam rapat kordinasi Opstib. Para Irjen satu persatu ditanya tentang kasus-kasus yang terjadi di departemennya. Sejak 1978/1979 anggaran para Irjen dinaikkan, dan hasilnya menurut Sumarlin "baik". Salah satu langkah yang akan diambil untuk meningkatkan pengawasan antara lain ialah pembentukan inspektur wilayah tingkat Ir, karena "di daerahdaerah banyak proyek." Proyek pembangunan selama 2 Pelita memang dianggap sebagai "daerah rawan" yang merupakan sumber kebocoran terbesar. "Sebelum adanya Opstib, di sementara departcmen, 15% dari nilai kontrak tender terang-terangan dimasukkan untuk dana kesejahteraan karyawan," kata Sumarlin. Menteri Emil Salim melihat beberapa hal yang strategis ada pembangunan proyek ini. Antara lain pada pelaksanaan tender, karena pernah adanya anggapan bahwa tender adalah "semacam arisan". Dengan kata lain, cuma dinikmati kalangan yang itu-itu juga. Juga dalam pengelolaan materiil dalam arti bagaimana kekayaan negara yang sudah dibeli jangan sampai dianggap milik pribadi. Hal strategis lain adalah mekanisme pengawasan pada pimpinan proyek. Sebab "mereka bisa mengambil berbagai keputusan terhadap dana besar yang berada di bawah wewenangnya," kata Emil Salim Salah satu cara pengawasan yang dikembangkan mulai 1977 adalah adanya Tim Monitoring Proyek Bappenas. Dari sekitar 3500 proyek pembangunan, 1504 proyek yang dianggap penting dan biayanya lebih dari Rp 300 juta dimonitor tiap bulan. "Yang ingin kita kembangkan adalah suatu sistim pengawasan di mana bisa dicegah penyimpangan dalam berbagai bentuk," kata Sumarlin yang sejak 1972 bertugas membenahi aparatur negara. Tujuan pendayagunaan dan penertiban aparatur negara adalah untuk memiliki aparatur yang mampu melakukan tugas, berwibawa, bersih dan mempunyai dedikasi serta ketaatan penuh pada negara dan Pancasila. Diakuinya, dalam usaha ini ada beberapa hambatan yang membenturnya. Salah satunya ialah apa yang disebutnya "kolusi", kerjasama antara bawahan atau atasan dalam mengerjakan tugas yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dan menyebut beberana contoh. Misalnya tender di mana pemenangnya sudah diatur lebih dulu, atau adanya "uang hangus" alias sogokan untuk bisa memperoleh kredit. Bagaimana cara mengatasi kolusi ini? "Dengan memperketat pengawasan, oleh atasan langsung, Irjen atau aparat pengawas lain," jawab Sumarlin. Sedang BPK dan Opstib bisa bertindak sebagai penertib. Emil Salim dan Sumarlin menyebut beberapa langkah yang akan diambil pemerintah sebagai tindak lanjut penertiban dan pendayagunaan aparatur. Misalnya penyempurnaan sistim tender, di mana kontraktor akan bisa mempunyai hak sanggah bila melihat ada ketidakwajaran dalam prosedur tender. Irjen kemudian bisa mengadakan pemeriksaan kembali pelaksanaan tender itu. Untuk mencegah pembelian fiktif, akan dikembangkan sistim pengelnldan materiil. Yang menarik, saat ini sudah disiapkan Rencana Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai hingga akan mempermudah dan mempercepat penindakan disiplin pada semua unsur aparatur negara Diharapkan PP ini bisa diselesaikan dalam tahun ini juga. Di atas kertas semuanya kelihatan bagus. Tapi bagaimana pelaksanaannya? Banyak yang merasa saat ini kita tidak kekurangan, bahkan mungkin kelebihan, peraturan. Dan menurut Emil Salim masalah pokoknya adalah "Bagaimana menterjemahkan semua peraturan itu dalam tindakan nyata." Korupsi agaknya memang menempati posisi terdepan dalam bentuk penyelewengan dan kebocoran yang terjadi di negeri ini. Mungkin memang banyak yang sulit dibuktikan, sedang sistim hukum yang berlaku menuntut adanya pembuktian dari pihak penuntut umum. Hingga yang banyak beredar dalam masyarakat hanyalah dugaan atau sinyalemen tanpa bobot hukum. Mungkin keadaan ini yang menyentuh nurani keadilan masyarakat dan bisa menimbulkan keresahan. Itu sebabnya "tindakan nyata" pemerintah selalu dinanttkan. Mungkin juga "hukum jengkel" atau "hukum geregetan" seperti pernah disebut Sudomo ketika menghukum penimbun semen di Medan dengan kerja paksa memuaskan selera sebagian masyarakat. Tapi masyarakat agaknya ingin lebih melihat suatu langkah yang benar-benar tuntas dalam penindakan korupsi ini tanpa adanya tanda tanya yang tertinggal seperti pada kasus Budiadji dan Siswadji. Bagaimana bercabulnya penyelewengan dan korupsi di hampir sen-lua bidang di tanah air ini mungkin bisa tergambar dari cerita seorang petugas pemeriksa keuangan negara. Hampir 10 tahun sudah dia menjalankan tugas ini yang membawanya ke seluruh bagian Indonesia. Setiap pemeriksaan di semua instansi pemerinrah selalu ditemukan ketidakberesan. Yang berbeda hanya soal besar kecilnya saja. Korupsi, uang dari kas hampir-hampir sudah tidak ada. Yang populer ialah permainan uang pada proyek: permainan antara pihak aparat pemerintah dengan pemborong atau konsultan. Dalangnya biasanya oknum pejabat, karena pemborong umumnya adalah "orangnya" sendiri. Sebagai petugas pemeriksa, ia sering mendapat kesulitan. Antara lain waktu pemeriksaan yang terlalu singkat, paling lama antara 20 sampai 30 hari hingga pemeriksaan tidak bisa tuntas. Fasilitas yang diterimanya kecil hingga bisa tergoda iming-iming si terperiksa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus