TIDAK ada poster. Tidak ada selebaran. Tidak pula ada pemuda
turun di jalanan. Tapi masalah korupsi tiba-tiba kembali menarik
perhatian lagi. Keterangan Jaksa Agung Muda Bidang Operasi
Sadili Sastrawijaya di depan Komisi III DPR pertengahan Pebruari
lalu membangkitkan minat ini. Menurut Sadili, kasus kompsi yang
terjadi dan merugikan keuangan negara pada 1978 sebesar Rp 29,8
milyar dibanding Rp 4,02 milyar pada 1977. Sedang yang berhasil
diselamatkan pada 1978 Rp 954,7 juta dibanding Rp 140 juta pada
1977.
Mengapa korupsi yang terungkap melejit naik begitu luar biasa?
"Itu tandanya aparatur kita telah bekerja lebih baik hingga yang
selama ini tidak terunglcap sekarang bisa terungkap," kata
Sadili pada TEMPO, Betulkah itu? Dan di bidang mana kebocoran
itu terjadi?
"Logis kalau korupsi itu juga bersumber dari kebocoran anggaran
pembangunan 1978/1979," kata Sabam Sirait Wakil Ketua Fraksi
PDI di DPR. Mnurut Sabam "berdasar sumber yang amat dapat
dipercaya," kebocoran anggaran pembangunan pada 1978/1979 yang
sebesar Rp 2.454.747 milyar mencapai 30%. Persentase ini belum
termasuk kebocoran anggaran rutin 1978/1979 di sektor belanja
barang dan perjalanan .
Hamzah Haz dari Fraksi Persatuan Pembangunan berpendapat,
korupsi yang Rp 29 milyar itu "tidak mengagetkan". Alasannya,
kebocoran 30% dari anggaran pembangunan 1978/1979 berarti lebih
dari Rp 600 milyar, hingga "lebih mengerikan". Korupsi 29 milyar
berarti hanya 5% dari seluruh kebocoran anggaran pembangunan
1978/1979.
Tidak jelas dari mana angka 30% itu diperoleh. Tapi pada 1973,
Dr. A.M. Kadarman, yang waktu itu Direktur Lembaga Pendidikan &
Pembinaan Managemen (LPPM) mengatakan, angka 30 % itu menurut
taksiran ahli-ahli asing yang pernah bekerja di Indonesia.
Mungkin banyak yang meragukan suara ahli asing ini. Tapi Prof.
Soemardjo Tjitrosidojo, staf ahli Badan Pemeriksa Keuangan,
dalam suatu ceramahnya tahun lalu, menyebutkan angka yang tidak
jauh berbeda. Menurut Semardjo berapa persisnya pemborosan dan
kebocoran itu belum dapat dikatakan dengan tegas karena belum
pernah dilakukan telaahan yang mendalam dan obyektif. Tapi
ditaksir berkisar antara 20% sampai 40%. Berarti kalau digunakan
angka taksiran yang paling hati-hati, yaitu 20%, kebocoran dan
pemborosan untuk tahun anggaran 1978/1979 adalah sekitar Rp 960
milyar. "Jika angka itu benar, jumlah itu dapat dibuat gedung
berjajar Malang-Surabaya menjadi penuh," kata Soemardjo dalam
ceramahnya di Malang itu.
BETULKAH pemborosan dan kebocoran di republik ini telah
mencapai tingkat malapetaka seperti itu? Bekas Ketua Kamisi IV
Wilopo menyatakan terkejut pada angka 30% itu. "Itu yang
ketahuan, yang tidak berapa? " Meskipun Komisi IV tidak
menyebutkan angka persentase, tapi menduga kebocoran yang
terjadi hahkan lebih dari 30%.
Tapi apa komentar Menteri PAN Dr Sumarlin? "Itu keliru! Angka
30% itu tidak ada dasarnya," katanya. Dijelaskannya sampai
sekarang sukar untuk menentukan besarnya kebocoran pembangunan.
Diakuinya kebocoran memang ada, tapi berapa persentasenya sulit
diketahui. Kebocoran yang terjadi umumnya pada proyek
pembangunan, sedang tiap proyek mempunyai ciri sendiri.
Pemborosan misalnya, bisa terjadi karena keterlambatan
penyelesaian proyek karena perencanaan yang kurang matang,
pelaksanaannya yang kurang mampu, atau kurangnya sinkronisasi
dari para pelaksananya.
Pertanyaan awam adalah bagaimana mungkin semua itu terjadi?
Bukankah telah ada begitu banyak badan pengawasan yang
bertugas? Selain Polri dan Kejaksaan Agung, ada Badan Pengawas
Keuangan (BPK), Ditjen Pengawasan Keuangan Negara, Inspektur
Jenderal Pembangunan (Irjenbang), sedang di tingkat departemen
ada Inspektur Jenderal serta Inspektur Wilayah Daerah. Semua itu
di samping pengawasan operasionil pelaksanaan tugas yang
dilakukan para Sekjen, Dirjen dan pimpinan lembaga lainnya. Lalu
sejak Juni 1977 ada Opstib yang juga bergerak di daerah.
Mungkin itu yang menyebabkan banyak yang masih meragukan adanya
kemauan politik pemerintah untuk memberantas semua pemborosan
dan kebocoran tadi. Walau, sejak Kabinet Pembangunan III ini
Wakil Presiden Adam Malik ditugaskan memimpin bidang Pengawasan,
di samping adanya Emil Salim sebagai Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup. "Apalagi yang menangani
terlalu banyak tapi terlalu sedikit kemauan politiknya," kata
Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan Sarwono Kusumaatmaja.
Akibatnya korupsi tetap berjalan karena, "aparat pengawasan
sekedar ada untuk memenuhi formalitas dan kurang berfungsi
secara efektif." Sedang Sabam melihat belum adanya mekanisme
yang jela antara berbagai badan pengawas ini. Ia melihat
perlunya diefektifkan lembaga pengawas yang berada di bawah
koordinasi Wapres untuk mencegah kebocoran ini. "Apalagi
jaringan pencuri anggaran pembangunan semakin luas dan lihai,"
tambahnya.
Korupsi memang telah lama menghantui republik ini. Munculnya
pemerintahan Orde Baru telah memperbaharui harapan masyarakat
agar masalah ini secara tuntas bisa dibereskan. Presiden
Soeharto berpendapat akar dan sumber korupsi ini adalah serba
ketidaktertiban yang telah lama berjalan. Hingga pemerintah
memilih jalan penertiban di berbagai bidang yang sebagai proses
sosial memerlukan waktu lama. Hendak diiptakan suatu sistim
pengawasan yang berjalan sendiri di mana masyarakat bisa ikut
serta. Sedang masyarakat agak kurang sabar menunggu. Apalagi
setelah tumbuh anggapan adanya hal-hal yang didiamkan hingga
timbul kecurigaan di kalangan masyarakat bahwa ada semacam
"permainan" tidak terelakkan Belbagai jalan ditempuh pemerintah
untuk membereskan masalah korupsi ini, termasuk Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK), Pembentukan komisi IV, Presiden
"buka praktek" sampai pembentukan Opstib di pertengahan 1977.
Bagaimana hasilnya? "Sekarang tim pengawasan yang tertib sudah
berjalan," kata Sumarlin Sejak Oktober 1977 tiap bulan, bersama
Pangkopkamtib Sudomo ia mengumpulkan para Irjen dalam rapat
kordinasi Opstib. Para Irjen satu persatu ditanya tentang
kasus-kasus yang terjadi di departemennya. Sejak 1978/1979
anggaran para Irjen dinaikkan, dan hasilnya menurut Sumarlin
"baik". Salah satu langkah yang akan diambil untuk meningkatkan
pengawasan antara lain ialah pembentukan inspektur wilayah
tingkat Ir, karena "di daerahdaerah banyak proyek."
Proyek pembangunan selama 2 Pelita memang dianggap sebagai
"daerah rawan" yang merupakan sumber kebocoran terbesar.
"Sebelum adanya Opstib, di sementara departcmen, 15% dari nilai
kontrak tender terang-terangan dimasukkan untuk dana
kesejahteraan karyawan," kata Sumarlin. Menteri Emil Salim
melihat beberapa hal yang strategis ada pembangunan proyek ini.
Antara lain pada pelaksanaan tender, karena pernah adanya
anggapan bahwa tender adalah "semacam arisan". Dengan kata lain,
cuma dinikmati kalangan yang itu-itu juga. Juga dalam
pengelolaan materiil dalam arti bagaimana kekayaan negara yang
sudah dibeli jangan sampai dianggap milik pribadi. Hal strategis
lain adalah mekanisme pengawasan pada pimpinan proyek. Sebab
"mereka bisa mengambil berbagai keputusan terhadap dana besar
yang berada di bawah wewenangnya," kata Emil Salim Salah satu
cara pengawasan yang dikembangkan mulai 1977 adalah adanya Tim
Monitoring Proyek Bappenas. Dari sekitar 3500 proyek
pembangunan, 1504 proyek yang dianggap penting dan biayanya
lebih dari Rp 300 juta dimonitor tiap bulan.
"Yang ingin kita kembangkan adalah suatu sistim pengawasan di
mana bisa dicegah penyimpangan dalam berbagai bentuk," kata
Sumarlin yang sejak 1972 bertugas membenahi aparatur negara.
Tujuan pendayagunaan dan penertiban aparatur negara adalah untuk
memiliki aparatur yang mampu melakukan tugas, berwibawa, bersih
dan mempunyai dedikasi serta ketaatan penuh pada negara dan
Pancasila. Diakuinya, dalam usaha ini ada beberapa hambatan yang
membenturnya. Salah satunya ialah apa yang disebutnya "kolusi",
kerjasama antara bawahan atau atasan dalam mengerjakan tugas
yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dan
menyebut beberana contoh. Misalnya tender di mana pemenangnya
sudah diatur lebih dulu, atau adanya "uang hangus" alias sogokan
untuk bisa memperoleh kredit.
Bagaimana cara mengatasi kolusi ini? "Dengan memperketat
pengawasan, oleh atasan langsung, Irjen atau aparat pengawas
lain," jawab Sumarlin. Sedang BPK dan Opstib bisa bertindak
sebagai penertib. Emil Salim dan Sumarlin menyebut beberapa
langkah yang akan diambil pemerintah sebagai tindak lanjut
penertiban dan pendayagunaan aparatur. Misalnya penyempurnaan
sistim tender, di mana kontraktor akan bisa mempunyai hak
sanggah bila melihat ada ketidakwajaran dalam prosedur tender.
Irjen kemudian bisa mengadakan pemeriksaan kembali pelaksanaan
tender itu. Untuk mencegah pembelian fiktif, akan dikembangkan
sistim pengelnldan materiil.
Yang menarik, saat ini sudah disiapkan Rencana Peraturan
Pemerintah tentang Disiplin Pegawai hingga akan mempermudah dan
mempercepat penindakan disiplin pada semua unsur aparatur
negara Diharapkan PP ini bisa diselesaikan dalam tahun ini
juga.
Di atas kertas semuanya kelihatan bagus. Tapi bagaimana
pelaksanaannya? Banyak yang merasa saat ini kita tidak
kekurangan, bahkan mungkin kelebihan, peraturan. Dan menurut
Emil Salim masalah pokoknya adalah "Bagaimana menterjemahkan
semua peraturan itu dalam tindakan nyata."
Korupsi agaknya memang menempati posisi terdepan dalam bentuk
penyelewengan dan kebocoran yang terjadi di negeri ini. Mungkin
memang banyak yang sulit dibuktikan, sedang sistim hukum yang
berlaku menuntut adanya pembuktian dari pihak penuntut umum.
Hingga yang banyak beredar dalam masyarakat hanyalah dugaan atau
sinyalemen tanpa bobot hukum. Mungkin keadaan ini yang menyentuh
nurani keadilan masyarakat dan bisa menimbulkan keresahan. Itu
sebabnya "tindakan nyata" pemerintah selalu dinanttkan.
Mungkin juga "hukum jengkel" atau "hukum geregetan" seperti
pernah disebut Sudomo ketika menghukum penimbun semen di Medan
dengan kerja paksa memuaskan selera sebagian masyarakat. Tapi
masyarakat agaknya ingin lebih melihat suatu langkah yang
benar-benar tuntas dalam penindakan korupsi ini tanpa adanya
tanda tanya yang tertinggal seperti pada kasus Budiadji dan
Siswadji.
Bagaimana bercabulnya penyelewengan dan korupsi di hampir
sen-lua bidang di tanah air ini mungkin bisa tergambar dari
cerita seorang petugas pemeriksa keuangan negara. Hampir 10
tahun sudah dia menjalankan tugas ini yang membawanya ke seluruh
bagian Indonesia. Setiap pemeriksaan di semua instansi
pemerinrah selalu ditemukan ketidakberesan. Yang berbeda hanya
soal besar kecilnya saja. Korupsi, uang dari kas hampir-hampir
sudah tidak ada. Yang populer ialah permainan uang pada proyek:
permainan antara pihak aparat pemerintah dengan pemborong atau
konsultan. Dalangnya biasanya oknum pejabat, karena pemborong
umumnya adalah "orangnya" sendiri.
Sebagai petugas pemeriksa, ia sering mendapat kesulitan. Antara
lain waktu pemeriksaan yang terlalu singkat, paling lama antara
20 sampai 30 hari hingga pemeriksaan tidak bisa tuntas.
Fasilitas yang diterimanya kecil hingga bisa tergoda iming-iming
si terperiksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini