Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peringatan 30 tahun Hari Kebebasan Pers Sedunia diwarnai catatan buruk kondisi pers di Indonesia.
Kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia meningkat, sebagian besar melibatkan aparat.
Kerja pers semakin terancam undang-undang bikinan pemerintah.
TAK ada yang pantas dirayakan di Indonesia dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun ini. Pemasungan terhadap kebebasan pers saat ini justru menjadi wajah dari kemunduran demokrasi di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan Reporters Without Borders yang dirilis bersamaan dengan peringatan 30 tahun Hari Kebebasan Pers Sedunia, Rabu, 3 April lalu, cukup untuk menjadi indikatornya. Peringkat Indonesia memang naik sembilan tingkat, menjadi urutan ke-108 di antara 180 negara yang disurvei. Namun riset tahunan itu secara keseluruhan tetap menempatkan tingkat kebebasan pers di Indonesia dalam status "situasi sulit", setingkat di atas level terburuk “situasi sangat serius” dalam skor penilaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reporters Without Borders, organisasi nirlaba yang mengantongi status konsultatif dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada urusan kebebasan pers dan akses informasi, menilai Presiden Joko Widodo gagal memenuhi janji politiknya pada 2014 dan 2019 untuk menjamin kebebasan pers. Aparat militer masih menjalankan pembatasan peliputan pada isu-isu politik yang sensitif, seperti di Papua. Ancaman untuk membungkam pers juga marak pada isu korupsi dan lingkungan, terutama yang melibatkan tokoh besar dan pejabat lokal.
Itu menunjukkan kebebasan pers di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sedikitnya 61 kasus kekerasan menimpa 97 jurnalis dan 14 organisasi media sepanjang 2022, naik dibanding tahun sebelumnya yang hanya 43 kasus. Angka kekerasan dalam empat bulan pertama tahun ini juga telah mencapai 33 kasus, naik lebih dari dua kali lipat dibanding periode yang sama tahun lalu.
Data tersebut juga mengkonfirmasi catatan Reporters Without Borders. Sebagian besar kasus kekerasan dilakukan oleh aparat pemerintah, terutama Kepolisian RI dan Tentara Nasional Indonesia. Pertengahan Maret lalu, dua personel TNI mengintimidasi redaksi Floresa.co karena menayangkan laporan berjudul "Presiden Jokowi Resmikan Jalan di Labuan Bajo yang Dibangun tanpa Ganti Rugi untuk Warga".
Celakanya, hampir semua kasus kekerasan tersebut berakhir dengan impunitas terhadap para pelaku. Sebaliknya, seperti dialami masyarakat sipil yang semakin tak bebas dalam menyampaikan pendapat, jurnalis Indonesia kian terancam oleh undang-undang bikinan pemerintah.
Sejak 2016, pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah menjerat sedikitnya 38 jurnalis ke ranah pidana. Sebanyak empat jurnalis di antaranya dipenjara atas kerja jurnalistik mereka. Alat pengancamnya kini juga bertambah setelah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memperbarui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Diundangkan pada 2 Januari 2023, aturan anyar ini juga berisi seabrek pasal multitafsir yang rentan dipakai untuk memberangus kemerdekaan pers.
Pemerintahan di masa mendatang harus memperbaiki kebebasan pers yang kini dalam kondisi kritis. Berbagai bentuk kekerasan terhadap pers harus dihentikan. Pemasungan terhadap kerja-kerja jurnalis akan menjadi ancaman serius bagi pemenuhan hak asasi manusia. Tanpa pers yang bebas dan independen, penyampaian kebenaran kepada kekuasaan bakal lenyap. Demokrasi mati setelahnya.
***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo