Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Prabowo Subianto mendukung Ridwan Kamil-Suswono dan Ahmad Luthfi-Taj Yasin.
Jokowi juga mendukung pasangan kandidat kepala daerah yang sama seperti Prabowo.
Dukungan dua tokoh ini menunjukkan ketergantungan kandidat pilkada pada tokoh tertentu.
DI awal masa pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto menunjukkan sikap yang tidak patut secara etika politik. Dukungan terbuka Prabowo kepada pasangan calon kepala daerah tertentu menyimpang jauh dari prinsip kontestasi politik yang adil sekaligus melanggar aturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dukungan politik Prabowo, misalnya, terlihat dalam video yang diunggah di akun media sosial resmi pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Tengah nomor urut 2, Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen, pada 9 November 2024. Dalam video itu, Prabowo berdiri di antara Luthfi dan Yasin sambil menyatakan dukungan secara terang-terangan. Ia mengatakan kedua tokoh tersebut adalah pemimpin yang ia percayai untuk memajukan Jawa Tengah sekaligus bekerja sama dengan pemerintah pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dukungan serupa diberikan kepada pasangan Ridwan Kamil-Suswono dalam pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta. Hal itu terungkap melalui pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman pada 1 November 2024. Dia menyatakan Prabowo sejak awal tegas mendukung pasangan tersebut.
Sama halnya dengan Prabowo, Joko Widodo yang baru saja lengser dari kursi presiden secara terbuka menunjukkan dukungannya kepada Luthfi-Yasin dan Ridwan-Suswono. Jokowi tampaknya berusaha mendongkrak elektabilitas kedua pasangan tersebut, yang menurut sejumlah hasil survei belakangan ini stagnan bahkan cenderung menurun.
Dari sisi elektabilitas, keterlibatan Prabowo dan Jokowi mencerminkan lemahnya kemampuan dan daya saing pasangan calon kepala daerah tersebut. Ketergantungan besar pada dukungan tokoh nasional menunjukkan ketidakmampuan mereka menarik suara pemilih melalui visi, misi, program, atau bahkan profil individu. Di sisi lain, bagi Prabowo dan Jokowi, dukungan ini merupakan bentuk "investasi politik" di wilayah strategis, seperti Jakarta dan Jawa Tengah, untuk kepentingan jangka panjang.
Bagi Prabowo, masalah ini lebih dari sekadar urusan kepatutan politik. Keberpihakan Prabowo dalam pemilihan kepala daerah merupakan pelanggaran hukum. Pasal 71 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota secara tegas melarang pejabat negara melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon.
Persisnya, pasal tersebut berbunyi, "Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon". Pelanggaran terhadap aturan ini diancam dengan hukuman penjara hingga enam bulan atau denda maksimal Rp 6 juta.
Lebih jauh lagi, keberpihakan terang-terangan seorang presiden dalam pilkada membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan. Bagi pejabat dan aparat di bawahnya, pernyataan seorang presiden bisa dianggap perintah. Maka risiko manipulasi birokrasi, pengerahan aparat, dan penggunaan sumber daya negara untuk memenangkan pasangan tertentu menjadi ancaman nyata.
Bila presiden sendiri terang-terangan melanggar aturan, bagaimana mungkin orang awam bisa diharapkan menjunjung etika politik dan mematuhi aturan demokrasi? Bisa-bisa malah makin banyak pemilih yang menganggap pelanggaran sebagai hal yang lumrah, bahkan diperlukan, demi memenangkan calon tertentu.*
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo