Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TINDAKAN brutal aparat kepolisian dalam membubarkan unjuk rasa dua pekan terakhir mengungkap wajah asli pemerintahan Joko Widodo. Di satu sisi, pemerintah tampak makin tidak peduli dan terbiasa mengabaikan kritik yang datang tanpa dukungan massa. Di sisi lain, pemerintah dengan cepat merepresi kritik yang disampaikan melalui aksi massa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelombang demonstrasi meletus di berbagai kota sejak 22 Agustus 2024. Mahasiswa, pelajar, dan elemen masyarakat sipil lain ramai-ramai turun ke jalan untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi yang menurunkan ambang batas perolehan suara partai politik yang dapat mencalonkan kepala daerah. Massa menolak upaya pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Komisi Pemilihan Umum mementahkan putusan MK tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Jakarta dan Semarang, misalnya, aparat kepolisian bertindak brutal dalam membubarkan pengunjuk rasa. Gas air mata, meriam air, pentungan, dan tameng digunakan untuk memukul mundur massa. Bahkan beberapa aparat terekam kamera memukuli dan menendang pengunjuk rasa yang tidak berdaya. Akibatnya, lebih dari 200 demonstran terluka, termasuk anak-anak di bawah umur. Polisi juga menangkap ratusan pengunjuk rasa. Sebagian dari mereka kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Sulit menerima bahwa rentetan kekerasan itu hanyalah insiden tak terencana yang terjadi karena aparat di lapangan kehilangan kendali. Terlebih, dalam gelombang demonstrasi terakhir, tidak ada ancaman terhadap keselamatan jiwa, yang dapat menjadi justifikasi penggunaan kekerasan oleh aparat.
Dalam aksi membela putusan Mahkamah Konstitusi, para demonstran bukanlah penjahat yang membuat kekacauan. Mereka adalah warga negara yang mengekspresikan pendapat mereka, hak yang dijamin oleh undang-undang. Alih-alih membungkam para pengunjuk rasa dengan kekerasan, polisi seharusnya mengawal dan melindungi mereka yang berusaha menyelamatkan putusan MK dari upaya pembegalan itu.
Indikasi kuat menunjukkan bahwa kekerasan dirancang secara sistematis dan meluas untuk melanggengkan kekuasaan. Sepanjang pemerintahan Jokowi, pengerahan kekuatan berlebihan oleh aparat kerap menjadi respons atas protes warga. Contohnya tindakan represif terhadap demonstrasi “Reformasi Dikorupsi” dan unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja. Ada juga kekerasan yang dialami warga Air Bangis di Sumatera Barat; warga Rempang-Galang di Batam, Kepulauan Riau; hingga warga Dago Elos di Bandung, Jawa Barat.
Di berbagai tempat, aparat keamanan melakukan kekerasan terhadap warga sipil yang menggelar protes damai. Serangannya mencakup intimidasi, kekerasan fisik, penyiksaan, dan perlakuan lain yang tidak manusiawi serta merendahkan martabat manusia. Melihat sifat dan lingkupnya, tak berlebihan bila Amnesty International Indonesia menggolongkan perbuatan aparat tersebut sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia.
Kepolisian semestinya memiliki standar operasi yang tegas untuk mencegah penggunaan kekerasan oleh aparat di lapangan saat menghadapi pengunjuk rasa. Pemerintah juga seharusnya memastikan aparat kepolisian menghormati hak asasi pengunjuk rasa. Jika tidak, yang perlu diminta bertanggung jawab bukan hanya anggota dan komandan polisi di lapangan. Kepala Kepolisian RI, bahkan Presiden Jokowi, juga harus dimintai pertanggungjawaban.