Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikhsan Darmawan
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polemik ihwal kepala daerah yang menjadi juru kampanye pemilihan presiden 2019 kembali menyeruak. Polemik ini pernah terjadi lima tahun silam. Salah satu kekhawatiran dari kejadian ini adalah penyalahgunaan jabatan dan fasilitas negara demi kemenangan calon yang didukungnya. Mengapa kejadian seperti ini terulang? Saya berpendapat bahwa dijadikannya kembali kepala daerah sebagai juru kampanye merupakan wujud strategi politik dalam merespons struktur di masyarakat dan lemahnya aturan pemilihan umum (pemilu).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dominika Koter (2013, 3) mengatakan, dalam menghadapi sebuah pemilu, politikus akan berusaha memilih strategi tertentu yang disesuaikan dengan struktur sosial tempat aktivitas politik berada. Secara lebih spesifik, Koter (2013,4) menambahkan bahwa seorang politikus sangat mungkin menggunakan cara bekerja sama atau bahkan memanfaatkan pemimpin lokal, karena pemimpin lokal memiliki otoritas moral, kontrol akan sumber daya, dan dapat mempengaruhi perilaku pemilih di daerahnya. Saya sependapat dengan Koter. Tapi, dalam konteks Indonesia, satu hal lain yang tak kalah pentingnya adalah lemahnya aturan pemilu.
Dalam Pemilu 2014, sejumlah kepala daerah menjadi juru kampanye untuk partai politik tempat mereka menjadi anggota. Sekadar menyebut contoh adalah Cornelis (Gubernur Kalimantan Barat), Rano Karno (Gubernur Banten), dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah). Tahun ini, setahun menjelang pemilu, akan terjadi pola yang sama karena salah satu tim pasangan calon presiden sudah menegaskan akan menjadikan sejumlah kepala daerah sebagai juru kampanye mereka.
Pengulangan itu tak bisa dilepaskan dari struktur sosial masyarakat Indonesia yang sebagian besar-tanpa bermaksud menggeneralisasi-masih mungkin untuk dipengaruhi oleh pemimpin daerahnya. Saya masih ingat betul, dalam sebuah diskusi di televisi para calon gubernur yang diundang ke acara tersebut hampir semua secara eksplisit menyebutkan akan mendukung calon presiden tertentu jika mereka menang dalam pemilihan kepala daerah. Sebagian lagi tidak dengan tegas menyatakan tidak akan membantu pemenangan calon presiden tertentu.
Tak bisa dimungkiri bahwa kepala daerah memiliki massa pendukung dan pemilih yang sangat mungkin "dimobilisasi" untuk mendukung calon tertentu dalam pemilihan yang akan datang. Selain itu, kepala daerah memiliki sumber kekuasaan: akses terhadap kebijakan. Modus yang biasanya dilakukan adalah kebijakan berbentuk pemberian bantuan, yang lazim disebut pork barrel.
Hasil studi Saragintan dan Hidayat (2016) menemukan bahwa, di salah satu daerah, seorang calon kepala daerah dapat menggunakan cara pork barrel berupa bantuan perbaikan jalan dan fasilitas umum demi tujuan kemenangannya dalam pemilihan kepala daerah. Tentu tidak semua daerah di Indonesia sama karakternya. Karena itu, daerah-daerah yang berkarakter lebih rasional kemungkinan besar akan sulit dipengaruhi dengan cara menjadikan kepala daerah sebagai juru kampanye seperti ini. Penjelasan ini sejalan dengan pendapat Koter di atas tentang pemanfaatan pemimpin lokal dalam pemilu.
Hanya, dalam pemilu di Indonesia, yang juga tak bisa dikesampingkan adalah longgarnya aturan pemilu. Dalam dua pemilu terakhir, meskipun menggunakan Undang-Undang Pemilihan Umum yang berbeda, tidak ada satu pun aturan yang melarang kepala daerah berkampanye dalam pemilu. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2013 untuk konteks Pemilu 2014 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 serta Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018 untuk konteks Pemilu 2019 sama sekali tidak melarang kepala daerah menjadi juru kampanye. Kalaupun ada pembatasan, seperti tidak boleh menggunakan fasilitas negara dan harus cuti di luar tanggungan negara, sejauh ini lebih merupakan "macan kertas" daripada benar-benar menjadi patokan demi terwujudnya pemilu yang ideal.
Pada akhirnya, lemahnya aturan pemilu serta respons politikus berupa strategi menjadikan kepala daerah sebagai juru kampanye, dengan merujuk pada struktur sosial masyarakat, tak terbendung. Ke depannya, aturan pemilu yang tegas melarang hal ini merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar lagi.