Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH keliru tindakan Kepolisian Daerah Jawa Timur menghentikan penyidikan perkara lumpur Lapindo. Penghentian itu mengakibatkan status hukum kasus semburan lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo, itu menjadi terkatung-katung. Usaha menguak penyebab munculnya semburan liar dalam proses pengeboran gas itu semakin sulit dilakukan.
Tindakan keliru itu ternyata datang dari pertimbangan yang juga aneh. Kepolisian Jawa Timur berpikir, jika penyidikan diteruskan dan kelak pengadilan memutuskan Lapindo tak bersalah, perusahaan milik keluarga Bakrie itu bisa lepas tangan dari kewajiban membayar ganti rugi. Sebaliknya, kalau Lapindo diputus bersalah, tak ada jaminan pemilik Lapindo tidak kabur.
Berandai-andai begini, selain ganjil, juga melampaui tugas kepolisian. Tugas polisi adalah melengkapi barang bukti agar berkas penyidikan tidak lagi ditolak kejaksaan seperti sebelum ini. Hanya dengan berkas yang komplet sajalah kejaksaan bisa menyusun dakwaan dan membawa perkara ini ke pengadilan. Tentu pernyataan terakhir ini didasari asumsi pihak kejaksaan tidak menerima ”pesanan” untuk menghentikan kasus ini.
Kalau polisi dan kejaksaan bekerja pada ”rel” yang benar, kasus Lapindo Brantas akan sampai ke pengadilan. Selanjutnya, di tangan hakim bermutu yang punya integritas baik, diharapkan lahir vonis yang mampu menyibak penyebab semburan liar di sumur Lapindo: sebuah kelalaian atau bencana alam alias mud volcano. Kepastian hukum inilah yang perlu menjadi sasaran kerja para penegak hukum. Seandainya dalam vonis ditetapkan terjadi kelalaian yang disengaja, bukan saja pengurus Lapindo Brantas, melainkan pemiliknya juga harus bertanggung jawab menanggung semua kerugian.
Ancaman itu bisa dilihat dalam Undang-Undang 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Aturan hukum itu menegaskan, perkara semacam kasus Lapindo dapat dikelompokkan sebagai kejahatan perseroan. Apabila bisa dibuktikan di pengadilan bahwa kegiatan bisnis sebuah perseroan menimbulkan kerusakan lingkungan, seluruh direksi sampai pemegang sahamnya ikut bertanggung jawab.
Pak Kapolda Jawa Timur tidak perlu pusing memikirkan ganti rugi. Justru pengadilan nanti yang akan menentukan batas ganti rugi yang mesti ditanggung Lapindo atau juga pemiliknya. Sementara pengadilan belum berlangsung, pemerintah sudah punya ”solusi politik” berupa Keputusan Presiden Nomor 13/2006 yang mengatur pembayaran ganti rugi kepada ribuan korban lumpur. Pak Kapolda hanya perlu segera memerintahkan anak buahnya supaya melengkapi bukti yang diminta kejaksaan.
Bukti itu tak terlalu sulit dicari. Polisi tinggal mengupayakan keterangan tertulis tentang siapa pemberi perintah pengeboran sumur gas. Ini penting lantaran ditengarai keteledoran terjadi akibat pengeboran dilakukan tanpa casing ketika mata bor menembus kedalaman tertentu. Kalau polisi mau, bukti ini bisa cepat ada di tangannya, mengingat sudah 13 orang ditetapkan sebagai tersangka—dari teknisi, mandor proyek, sampai direktur.
Dengan mengumpulkan barang bukti itulah Kapolda Jawa Timur dan jajarannya punya andil menyelesaikan kasus hukum Lapindo Brantas. Berandai-andai hanya membuat solusi hukum kasus yang merugikan ribuan rakyat itu melayang-layang tinggi di awan dan tak kunjung datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo