Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AGEN senior Badan Intelijen Negara itu kini paling ditunggu kehadirannya. Bertugas di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Pakistan, Budi Santoso, agen itu, dijadwalkan memberi kesaksian pada sidang kasus pembunuhan Munir, Selasa pekan ini.
Edi Saputra, jaksa penuntut umum kasus ini, berjanji berusaha sekuat tenaga menghadirkan Santoso. ”Kalau gagal, berita acara pemeriksaannya akan kami bacakan di persidangan,” katanya.
Kejaksaan berharap Budi Santoso bisa mengungkapkan surat rekomendasi dari BIN kepada Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan, pada 2004. Surat ini berisi rekomendasi agar Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot senior maskapai itu, ditempatkan di Unit Keamanan Korporasi.
Sebagai staf unit itu, Pollycarpus terbang ke Singapura pada 6 September 2004 dengan Garuda GA 974. Di pesawat itulah ia bertukar tempat dengan Munir, yang sedang dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda. Sejumlah saksi menyatakan melihat Pollycarpus tetap bersama Munir saat transit walau Polly membantahnya. Hanya beberapa menit setelah transit, Munir sakit perut. Tujuh jam kemudian, hidupnya tak tertolong.
Ihwal surat itu diungkap Indra Setiawan dalam persidangan sebelumnya. Namun, ia tidak bisa menunjukkan surat itu karena, menurut dia, hilang di pelataran parkir Hotel Sahid, Jakarta, akhir 2004. Kepada Budi Santosolah Kejaksaan berharap bisa menguatkan adanya surat itu.
Kepada polisi yang telah dua kali meminta keterangannya, Budi mengaku mengenal Pollycarpus. Perkenalan pertama terjadi pada 14 Juni 2004 di ruang kerjanya, kantor BIN, Pejaten Timur, Jakarta Selatan. Pollycarpus saat itu mengenalkan diri sebagai pilot Garuda dan mengaku baru keluar dari ruang kerja Muchdi Purwoprandjono, Deputi Kepala BIN bidang Penggalangan. Beberapa hari kemudian, Pollycarpus datang lagi ke kantornya.
”Pollycarpus minta tolong mengoreksi surat yang dikonsepnya sendiri dalam ketikan—bukan tulisan tangan—berkaitan dengan rekomendasi untuk ditempatkan di Corporate Security Garuda,” kata Budi Santoso, seperti ditirukan sumber Tempo yang mengetahui proses penyidikan.
Budi Santoso mengatakan, saat itu membetulkan dua hal: posisi ”Kepada yang Terhormat” yang semula di kiri menjadi kanan serta beberapa kalimat janggal yang tidak sesuai dengan bahasa formal BIN. Surat itu ditujukan kepada Direktur Utama PT Garuda Indonesia. Di bawahnya ada kolom tanda tangan Wakil Kepala BIN M. As’ad. ”Setelah saya koreksi, surat saya berikan kepada Pollycarpus saat itu juga,” tuturnya seperti ditirukan sang sumber.
Budi Santoso mengaku kepada polisi, ada kemungkinan Pollycarpus membawa surat yang telah dikoreksi ke Biro Umum untuk diketik dan diberi nomor. Kemungkinan lain, surat dikeluarkan unit lain dengan meminjam nomor dan stempel Deputi. Artinya, Biro Umum tidak mengetahui atau memiliki arsip surat itu.
Karena kedekatannya dengan Muchdi, kata Budi kepada polisi, Pollycarpus bisa juga membawa lagi surat yang telah dikoreksi itu ke Muchdi untuk diketik kembali. ”Lazimnya, surat tersebut ada arsipnya di Biro Umum. Tapi arsip tidak ada bila Deputi yang mengeluarkan; jadi hanya blok nomor dan pinjam stempel,” kata Santoso seperti tertulis dalam berita acara pemeriksaan.
Soal posisi di BIN, Budi Santoso menyatakan Pollycarpus hanya merupakan anggota jaringan. Sang pilot tidak memiliki jabatan struktural di organisasi intelijen itu. Penyidik, menurut sumber, lalu bertanya apakah Budi pernah membicarakan surat Pollycarpus itu dengan Muchdi PR. Ia menjawab tidak pernah.
Budi Santoso, kata sumber yang sama, mengaku sering kali berkomunikasi dengan Pollycarpus melalui telepon. Ia juga membenarkan data hubungan teleponnya dengan sang pilot yang disita polisi. Misalnya, pada 23 Agustus 2004, 3 September 2004, 7 September 2004, dan 9 September 2004—hari-hari di sekitar pembunuhan Munir.
Di semua pembicaraan telepon itu, menurut Budi, Pollycarpus menanyakan keberadaan Muchdi. ”Jadi, posisi saya kadang-kadang menjadi penghubung antara Pollycarpus dan Muchdi,” kata Budi Santoso, tertulis dalam berita acara pemeriksaan.
Pollycarpus, menurut Budi, juga menghubunginya beberapa kali di akhir September dan sepanjang November 2004. Sang pilot memberi banyak masukan soal Papua, karena Budi Santoso juga menjabat sebagai Ketua Desk Papua BIN.
Dua kali Budi dimintai keterangan oleh polisi: pada 3 dan 8 Oktober 2007. Di dua kesempatan itu ia tidak didampingi pengacara. Dimintai konfirmasi soal keterangannya kepada polisi itu, sang agen menolak menjawab. Dihubungi dari Jakarta, pejabat yang kini bertugas di Pakistan itu berkali-kali hanya mengatakan, ”Saya tidak boleh bicara.”
Kepada wartawan, Pollycarpus berkali-kali membantah mengenal Budi Santoso. Meski begitu, ia menyatakan siap dikonfrontasikan dengan agen senior itu. ”Silakan dihadirkan ke pengadilan. Bahkan Pak As’ad saya minta dihadirkan,” kata pilot Airbus itu.
M. Assegaf, pengacara Pollycarpus, pun meragukan keterangan Budi Santoso. Ia menganggap kliennya tak memiliki kemampuan membuat konsep surat. ”Bahasa Indonesianya saja nggak karu-karuan, dapat ide dari mana dia bisa membuat konsep surat?” katanya.
Menurut Assegaf, pengakuan Budi Santoso menambah misteri tentang kebenaran surat dari BIN ke Garuda. Misteri sebelumnya, kata dia, mengapa Indra Setiawan menyimpan surat itu berbulan-bulan sebelum hilang di pelataran parkir Hotel Sahid, Jakarta, akhir Desember 2004. ”Surat itu resmi, ada logo BIN, ditujukan kepada Direktur Utama Garuda. Logis tidak, Indra menyimpannya berbulan-bulan?” ujarnya.
Assegaf menyarankan pengadilan segera memanggil As’ad, Muchdi, dan Budi Santoso ke pengadilan. Kesaksian mereka, menurut Assegaf, penting untuk dibandingkan dengan keterangan Pollycarpus.
Dengan alasan berbeda, para aktivis dari Komite Aksi Solidaritas untuk Munir juga menuntut para pejabat dan mantan pejabat BIN itu dihadirkan ke persidangan. ”Keseriusan polisi, kejaksaan, dan Mahkamah Agung untuk mengungkap pembunuhan Munir mulai mengendur,” kata Usman Hamid, sekretaris eksekutif komite itu.
Hingga berita ini ditulis, Muchdi tidak bisa dimintai konfirmasi. Tempo dua kali datang rumahnya di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan, pada Kamis dan Jumat pekan lalu. Menurut penjaga rumah itu, bosnya sedang pergi keluar kota bersama keluarga.
Lutfi Hakim, pengacara Muchdi, mengaku belum tahu perkembangan kasus ini. Ia mengatakan baru pulang dari Jeddah, Arab Saudi, pekan lalu. Ia mengaku memang sempat berkomunikasi dengan kliennya sebelum berangkat, tapi tidak membicarakan kasus Munir.
Budi Santoso lulus dari Akademi Angkatan Bersenjata RI pada 1973—seangkatan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Karier pertamanya di militer dilaluinya saat menjadi Komandan Rayon Militer Kaimana, Papua. Ia lalu menjadi Kepala Seksi Operasi Komando Distrik Militer Fakfak, Papua.
Setelah berpindah-pindah dinas ke berbagai kota, karier Budi Santoso di militer berakhir saat menjadi Asisten Logistik Komando Daerah Militer IV Diponegoro, Jawa Tengah. Pangkat terakhirnya kolonel zeni. Setelah itu ia masuk Badan Intelijen Negara. Pada 2000, ia beralih status menjadi pegawai negeri sipil. Kini ia menjadi Agen Madya BIN dan bertugas di Pakistan.
Pada 2004, saat Munir terbunuh, Budi Santoso menjabat sebagai Direktur I BIN yang menangani perencanaan dan pengendalian operasi. Ia bawahan Muchdi Purwoprandjono, Deputi V Kepala BIN yang menangani penggalangan. Dalam berita acara pemeriksaan 18 Mei 2005, Muchdi mengatakan bahwa tugas Direktur I BIN merencanakan dan mengendalikan operasi secara umum. ”Yang menentukan target operasi saya,” kata mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu.
Namun, kepada polisi, Budi Santoso mengatakan, tugasnya sebagai Direktur I BIN hanyalah menangani urusan personel, material, logistik, dan keuangan. Tugasnya, ia mengaku, menyiapkan lahan untuk kompleks sekolah internasional intelijen di Batam. Dalam proyek itu ia menjadi supervisor teknis dan Muchdi menjadi penanggung jawabnya.
Menurut sumber Tempo, polisi memiliki bukti tertulis untuk menguatkan keterangan Budi. Di pengadilan, bukti ini akan dibuka. Seorang penyidik menyebutkan, ”Bukti lain mungkin sudah dilenyapkan, tapi tetap saja masih ada yang bisa kami temukan.”
Budi Setyarso dan Bayu Galih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo