Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mas dipo urung terbang

Rendra pranadita t. alias mas dipo punya tingkat iq yang tinggi. pada usia 8 tahun sekolahnya meloncat dari kelas 3 ke kelas 6. mas dipo tak boleh ikut ebta karena menteri p&k tak setuju loncat kelas.

12 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA usia sembilan bulan ia sudah mengenali huruf. Sebelas bulan kenal semua warna, 16 bulan bisa membaca, dan tak lama kemudian bisa menulis. Pada usia dua tahun ia tahu nama semua pulau di peta. Empat tahun kurang dua bulan, ketika duduk di taman kanak-kanak, ia dites psikologi. Hasilnya, tingkat kecerdasan umumnya 146. Itulah tanda-tanda kejeniusan, karena angka IQ (tingkat kecerdasan) di atas 140 dianggap menunjukkan adanya itu. Maka, Rendra Pranadipa Tofani dicabut dari TK, dimasukkan ke SD. Tiga tahun terbukti selalu unggul, ayahnya dan kepala SD-nya punya gagasan menarik: ia dicoba diterbangkan dari kelas III SD langsung hinggap di kelas VI. Tapi birokrasi mengantol Mas Dipo -- begitulah sehari-hari ia dipanggil dalam keluarganya -- untuk turun ke kelas IV. Entah perkara ini atau yang lain kini murid yang telanjur duduk di kelas VI lebih dari sebulan pada usia hampir 8 tahun itu sakit. Sampai Sabtu pekan lalu belum juga masuk sekolah. "Ia diserang disentri dan flu," kata ayahnya. Tapi apakah sebenarnya anak Semarang ini memang ingin loncat kelas? Apakah ini bukan mencerminkan keinginan guru dan orangtua saja ? Baiklah, ditengok ke rumahnya, yang besar dan berhalaman luas di Semarang Timur. Keluarga Mas Dipo memang tergolong berada dan terpelajar. Ayahnya, Prawono, seorang arsitek. Ibunya, Arini, dokter lokal dari Universitas Islam Sultan Agung. Mereka berlangganan beberapa koran dan majalah. Singkat kata, kebutuhan Mas Dipo terjamin, bukan saja makanan yang baik tetapi juga beragam jenis bacaan. Kelas I sampai kelas III SD diikuti oleh Mas Dipo secara normal, setahun penuh walau kemampuannya jauh melebihi teman-temannya. Tapi ayah dan ibunya disibukkannya: mereka tiap hari harus membuatkan PR yang lebih sulit untuk Mas Dipo. Menurut Prawono, ini karena anak pertamanya itu sudah bosan dengan pelajaran dan PR setingkat kelasnya. Dengan alasan itu, tahun lalu Mas Dipo yang sehat dan sedikit gemuk itu, disekolahkan di dua tempat. Sore ia di SD Kebon Dalem -- SD-nya sejak kelas I - duduk di kelas III. Pagi di SD Pekunden I, di kelas V. Hasilnya, pertengahan Juni lalu di dua sekolah itu Mas Dipo naik kelas. Bahkan ia termasuk peringkat pertama, meski nilainya tidak fantastis. Angka rapor yang membuat dia bisa duduk ke kelas VI itu: Bahasa Indonesia 87, Ilmu Pengetahuan Sosial 94, ilmu Pengetahuan Alam 82, Matematika 77, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa 90. Ayahnya optimistis, karena itu ia sepenuhnya memindahkan anak pertamanya itu ke kelas VI. Dan agar tak menimbulkan masalah, ia, Kepala SD Pekunden I, dan Pimpinan Yayasan Kanisius yang mengelola SD itu meminta dispensasi ke Kantor Departemen P dan K: dari tingkat Kecamatan sampai Wilayah Jawa Tengah. Dimohon supaya Rendra Pranadipa Tofani diizinkan ikut ujian akhir atau EBTA. Sebenarnya, semula ada harapan. "Kami akan mengadakan pemantauan kemampuan anak itu," kata Suparto, Kepala Bidang Pendidikan Dasar Kanwil P dan K Jawa Tengah, dua pekan lalu. Tapi Agustus belum habis Menteri P dan K Fuad Hasan sudah memberikan jawaban karena membaca berita tentang Mas Dipo di koran. Menteri yang juga seorang psikolog ini tak setuju bila ada murid loncat kelas di sekolah biasa. Fuad lebih setuju kalau anak sekolah luar biasa. "Bukan SLB untuk anak-anak yang kemampuannya di bawah rata-rata tapi untuk anak di atas rata-rata," kata Fuad Bagi Fuad, loncat kelas, "lebih memungkinkan timbulnya dampak negatif kalau anak itu kelak kurang berhasil." Dan ditolaklah permintaan rekomendasi itu. Psikolog Suci Wuryanto, yang memberikan tes psikologi kepada Mas Dipo, kini ikut cemas. Ia menyetujui pendapat Menteri, tapi sudah adakah SLB buat si cerdas? Bahkan sekolah yang memungkinkan loncat kelas. Proyek Perintis Sekolah Pembangunan di IKIP, kini dijadikan sekolah biasa. Tentu saja Fuad Hassan tahu, SLB seperti dimaksudkannya belum ada. "Wah, akan banyak kesulitan jika pemerintah yang membuatnya, banyak biayanya," katanya. Ia menyarankan agar swasta saja yang mendirikan. Tapi bila sekolah bukan demi sekolah itu sendiri, perlu diingat penelitian Lewis Terman, psikolog AS yang memantau perkembangan 2.500 anak berpotensi jenius. Penelitian yang dimulai pada 1921 ini pada 1980 lalu dianalisa. Hasilnya, banyak responden yang tak bahagia, dan ternyata tak semua mereka menduduki tingkat sosial tinggi: memang ada yang jadi jenderal dan direktur laboratorium nuklir, tapi banyak juga yang jadi pak pos dan juru tulis. Ada faktor lain, rupanya, untuk membuat si "jenius" jadi "orang"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus