Tulisan "Sekali RRI, Tetap di Udara" (TEMPO, 8 Juni 1991, Media) membuat saya tertarik untuk ikut urun rembuk. Pada tulisan itu, antara lain, disinggung soal kerja sama RRI dengan swasta. Sebagai produk kerja sama itu adalah nama 93,5 FM RRI Denpasar. Selama dua tahun (1988-1990) mengikuti perjalanan "radio patungan" ini, saya berpendapat: hasilnya sungguh positif. Positif di sini bukan semata-mata dilihat dari sudut pandangan keuangan, tetapi dari segi program-program yang ditampilkan dan cara pengolahannya. Ia memang berbeda dengan "suara RRI" sebagaimana dikenal umum. Dan satu hal perlu dicatat, ia sudah tampil sedemikian sebelum FM-FM swasta menjamur di Bali seperti sekarang. Untuk lebih mendekatkan diri dengan pendengarnya, ia sapa pendengarnya dengan panggilan "Raka dan Rai". Maka, ketika kata "Raka" dan "Rai" itu muncul di rumah-rumah sang pendengar, langsung mereka tahu bahwa itu adalah suara 93,5 FM, yang juga RRI. Jadi, dengan cara pembawaan program-programnya yang komunikatif, tak heranlah kalau "RRI" yang satu ini sangat akrab bagi pencinta radio di Bali. Juga, bukan kesalahan radio ini kalau kemudian banyak remaja yang menjadi fansnya. Karena itu, saya cukup terkejut ketika membaca pernyataan Direktur Radio, Bapak M. Arsyad Subik, yang "takut" bahwa RRI bukan lagi "Radio Republik" jika mengikuti selera remaja. Benarkah demikian? Apakah selera remaja itu? Apakah selera remaja itu perlu "ditakuti", bahkan sampai-sampai dikhawatirkan RRI bukan lagi Radio Republik? Saya kira ketakutan yang demikian itu terlalu berlebihan. Alasan saya, banyak acara yang ditampilkan oleh 93,5 FM yang bersifat edukatif. Lihat saja, ia punya "Psycho-pop" yang concern terhadap problem yang dihadapi masyarakat. Pembicaranya pun bukan amatiran, tapi bekerja sama dengan ahli psikologi dari Universitas Udayana. Juga ditampilkan acara "Gubernur Menjawab". Dalam acara ini, Gubernur Bali menjawab surat-surat- tentang berbagai masalah yang menyangkut Bali- disampaikan oleh pendengar 93,5 FM RRI Denpasar. Bukankah ini setara dengan Kotak Pos 5000? Selain itu, ada acara termasuk favorit, yakni "Sixty Minutes With Dr. Wimpie". Hampir semua orang Bali akrab dengan nama Dokter Wimpie, seksolog terkenal, yang tampil dua pekan sekali di radio ini. Ia menjawab surat-surat pendengar yang menyangkut problem seksual dengan cara yang sangat komunikatif (bukan vulgar). Tentu, banyak lagi acara lain yang menarik. Agaknya, kurang bijaksanalah kalau kerja sama yang sedemikian konstruktif dan edukatif ini dijadikan proyek yang "layu sebelum berkembang". Juga, tak bijaksana menilai "gaya remaja" dari radio ini hanya dari sudut kekhawatiran akan menjadi "lebih swasta" semata-mata karena ia mencoba tampil komunikatif. Bukankah ini justru suatu keuntungan bagi RRI? PALGUNA Jalan Sekeloa Selatan I Bandung 40132
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini