Ada yang menarik dari Komentar tentang "Siti Nurbaya: Mitos cengeng wanita Indonesia" (TEMPO, 1 Juni 1991). Tapi saya tidak akan berkomentar lebih banyak tentang alangkah emosionalnya nada tulisan tersebut. Saya hanya ingin menunjukkan betapa naifnya membawa-bawa urusan "Wanita Karier" dalam kasus itu. Di situ, sang penulis mengungkapkan, "Namun, di sana pula letak kecelakaan itu, sebab kurangnya komunikasi dalam rumah mengakibatkan wanita karier bisa tersenggol affair." Sambil menunjuk 1 dari 10 wanita karier menyeleweng. Dari pernyataannya itu, penulis telah mengakui, sadar atau tidak, hal tersebut merupakan "kecelakaan", dan setahu saya, tidak seorang waras pun yang pernah menghendaki terjadinya kecelakaan. Masalah komunikasi dalam perkawinan atau rumah tangga itu adalah masalah tanggung jawab kedua belah pihak, suami istri, entah sama-sama berkarier atau tidak, harus ada timbal-balik dan usaha bersama untuk itu. Mengenai pernyataan bahwa 1 dari 10 wanita karier menyeleweng, hal itu dapat diibaratkan bila orang mulai "melangkah" ada yang berhasil dan ada yang gagal. Kita bisa asumsikan 9 dari 10 wanita tersebut adalah mereka yang berhasil memantapkan citra dirinya, sedangkan 1 dari 10 tadi adalah mereka yang "gagal" dalam usaha tersebut. Terlalu berlebihan kiranya bila kita menuntut mereka semua mesti "berhasil" seratus persen secara mutlak dalam perjalanan- nya, meski usaha ke arah itu harus tetap ada. Itu pun bila angka 1 dari 10 tersebut benar. Siapa yang berani menjamin bahwa bila tanpa "karier", wanita bisa tidak menyeleweng? Terlalu banyak faktor yang dapat memicu terjadinya penyelewengan, dan terlalu gegabah untuk mengambing-hitamkan "karier" itu sendiri. Tanpa perlu menunjuk berapa angka "kegagalan" (baca: penyelewengan) dalam perjalanan hidup pria sendiri. Hendaklah kita lebih bijak dalam melihat permasalahan. Bila tangan kita tertoreh pisau, mestikah pisaunya yang dipersalahkan? Apakah tidak lebih baik untuk mempelajari bagaimana cara menggunakan pisau dengan benar? Betapapun pisau bisa membuat tangan kita terluka, pisau amat diperlukan dalam kehidupan ini. Barangkali ada pelajaran berharga dari kejadian saling tuding semacam itu bagi setiap orang tua. Terutama kaum ibu, agar mendidik putra-putrinya secara arief dan perlunya memberikan pemahaman yang lebih luas bahwa "jauh lebih berharga untuk menjadi manusia yang manusiawi daripada sekadar menjadi wanita, pun untuk sekadar menjadi seorang lelaki." ANDRIANA K. FH UGM Jalan Sosio-Justitia Bulaksumur-Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini