Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kesenjangan Dengan Guru

Perkelahian antar pelajar sudah menjurus ke tindakan yang brutal. Akibat ada kesenjangan antara guru dan murid yang membuat guru tidak berdaya mengendalikan gejolak muda anak didiknya.

17 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkelahian antar-pelajar, mungkin itu biasa. Namun yang terjadi di Jakarta -- dan mungkin di kota besar lainnya -- kini sudah tidak biasa. Mereka tidak lagi menggunakan tangan kosong, satu lawan satu. Mereka menggunakan batu, senjata tajam, pistol, dan berbagai cara lebih canggih, menyewa tenaga bayaran, menculik, dan lain-lain (TEMPO, 26 November 1988). Rupanya, mereka tidak lagi menjadi "pendekar" jantan, tetapi malah menjadi gerombolan pengecut yang tak bisa dikendalikan. Lantas kenapa hal ini terjadi? Tidak gampang dijawab secara pas. Mungkin perlu diteliti lingkungannya yang membuat mereka berlaku demikian. Salah satu yang perlu dilihat adalah kondisi tempat anak SMTA itu sekolah. Mengapa mereka tiba-tiba menjadi brutal? Misalnya bagaimana sistem pendidikan di sekolah itu bagaimana hubungan mereka dengan guru kondisi sekolah, disiplin sekolah, dan lain-lain. Bagaimana pula dengan kualitas guru-guru SMTA di Jarkarta? Secara psikologis, bagaimanapun, guru punya wibawa untuk membimbing anak-anak didiknya. Ini seperti yang harus dilakukan orangtua mereka di rumah. Mungkin, yang jadi persoalan: para guru SMTA di Jakarta -- dan di kota besar lainnya -- sulit menanamkan kewibawaannya. Mengapa? Para murid juga punya "power". Misalnya, memamerkan kedudukan orangtua, kekayaan, atau yang lainnya. Berdasarkan pengalaman, jika ada seorang murid berani mempermainkan seorang guru di depan kelas, pasti teman-teman lainnya ikut. Mereka ingin disanjung, dipuji, dihargai, didengar pendapatnya, dan diarahkan dengan rasa kasih sayang. Di segi lain, kehidupan materi yang berbeda jauh, cukup mempengaruhi. Siswa anak orang gedean dan kaya, tentunya, berpenampilan lebih "wah" dibandingkan seorang guru yang pulang dengan bus kota. Dunia pergaulan si murid lebih luas di lingkungan "maju" kota besar dibandingkan gurunya. Kadang-kadang kesenjangan semacam ini membuat sekolah atau guru tidak kuasa mengendalikan gejolak muda anak didiknya. Apalagi kalau sudah ada pihak luar yang mempengaruhinya. TAUFIK GAFARA Mhs. Staf LPM-UII HIMMAH, Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus