Selaku adik kandung tergugat, Sartidjah, tentu, saya sangat terpukul tatkala membaca berita gugatan Siti Djainur, ibu asuh Sartidjah (TEMPO, 19 November, Hukum). Maka, kepada pembaca, saya ingin sekali menceritakan hal sebenarnya, sebagai berikut. Sebagai anak bungsu, ketika Sartidjah kuliah di Akademi Perhotelan Universitas Trisakti, Jakarta saya masih duduk di SD. Tetapi banyak hal yang masih bisa saya ingat, ditambah dengan keterangan Ibu. Tahun pertama kuliah, Ibu menemani Sartidjah yang kos di Tanah Sareal, Jakarta Barat, dan bertemu dengan Siti Djainur. Setelah tujuh bulan, Ibu pulang ke Tembilahan, Riau, untuk mencari biaya buat Sartidjah. Sebab, ayah kami telah meninggal dunia. Tiba-tiba, datang surat dari Siti Djainur, yang mengatakan bahwa Sartidjah dibawa ke Banjarmasin. Itu, tentu, tanpa meminta persetujuan kami lebih dulu. Ibu dan kami bersaudara tak bisa mencegah dan biaya untuk Sartidjah meski ala kadarnya, terus kami kirimkan. Itu berarti, kami tak membebankan biaya sepenuhnya kepada Siti Djainur, karena kami berusaha membantu, meski sedikit. Karena teram rindu kepada si anak, pada 1979, Ibu mengirimkan biaya pesawat pulang-pergi untuk Sartidjah. Sartidjah pulang ke Riau selama sebulan dengan di-"kawal" salah seorang putra Siti Djainur. Pada Februari 1986, Ibu menyusul ke Banjarmasin. Lalu, pada 17 Mei 1986, Siti Djainur mengirimkan surat dengan nada amat menyakitkan hati disertai ancaman. Sebab, kedatangan Ibu ke Banjarmasin dianggap merugikan Siti Djainur. Yakni, kami dianggap menyerahkan Ibu agar dirawat atau dijadikan orangtuanya. Surat yang teramat kasar itu, kami fotokopikan dan kami kirimkan ke Sartidjah. Karena tertekan perasaan, di samping menyadari sikap Siti Djainur yang melebihi seorang pemeras, ditambah penghinaannya terhadap ibu kandung, Sartidjah akhirnya, membawa Ibu pindah dari rumah siti Djainur. Pada 15 November 1986, Ibu meninggal dunia. Saya bersama abang dan kakak ipar segera ke Banjarmasin. Akhir tahun itu juga, Sartidjah memperoleh cuti dan pulang bersama-sama ke Riau. Menyadari keadaan kami yang sudah yatim-piatu, kami ingin berkumpul senasib sepenanggungan. Keinginan ini tanpa bermaksud melupakan budi baik Siti Djainur yang konon, mengasuh Sartidjah, karena belas kasihan. Namun, mengapa Siti Djainur menuntut dengan mengatakan bahwa Sartidjah tak membalas guna? Padahal, selama Sartidjah bekerja, selalu "menyetorkan" gajinya kepada Siti Djainur? Mereka yang mengenal pribadi Siti Djainur, tentu, akan tertawa mendengar gugatan Rp 54 juta tersebut. Pemerasan terakhir kepada anak asuhkah itu? Setelah sekian lama menjadi parasit? Namun, bagaimanapun, saya yakin bahwa Pengadilan Negeri Banjarmasin akan memberikan keputusan yang tepat dan seadil-adilnya. SARTINI, BC.AK. Bappeda Tingkat II Inhil Jalan Gajah Mada Nomor 1 Tembilahan 29212 Riau
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini